Dinding

8 1 0
                                    

Senja sudah ditandai oleh bersembunyinya sang mentari di balik pegunungan di ufuk timur. Hari-hari terasa sama bagiku, tidak ada kesan, membosankan, dan sepi. Aku selalu mengurung diri, mungkin lebih tepatnya terkurung dibalik tembok kokoh rumah megah ini. Yang orang lain lihat seperti istana di negeri dongeng. Namun bagiku, rumah ini lebih seperti ruang-ruang yang sunyi tak berpenghuni.

"Alice, cepat turun nak! Sudah waktunya kamu bimbingan belajar Matematika dan Fisika. Kalau nilaimu terus-terusan 98, peringkatmu akan turun!" Seru ibuku, dengan suara cemprengnya.
"Iya Ma, bentar." Jawabku malas.
Bagaimana tidak, setelah bersekolah selama lebih dari 9 jam. Aku masih harus les private dan bimbingan belajar. Tidak ada bedanya kan? Namun menurut ibuku, les private dan bimbingan belajar itu 360° berbeda. Entahlah apa alasannya, namun aku harus meng-iyakan apa kemauan orangtuaku. Orangtua? Ya, orangtua katanya.

Aku baru menyelesaikan langkah terakhirku menuruni tangga, tiba-tiba..

"Mama dan Papa hanya dua jam ada di Indonesia, setelah mengcopy berkas perusahaan, kami akan kembali ke Venesia. Kamu harus belajar dengan tekun, jangan membuat kami malu dengan nilai 98 mu itu! Dan juga, jangan banyak bergaul dengan orang lain. Mereka hanya akan membuatmu menjadi berandalan. Atau mungkin mereka hanya ingin uangmu saja. Juga.."
"Ya, ya, ya, aku mengerti nyonya." Sela ku sambil berlalu menuju ruang belajar.
"Hei, anak ini. Dengarkan dulu ibumu ini bicara! Kamu tidak diajarkan sopan santun di sekolah?"
"Tidak! Karena guruku hanya fokus pada perintahmu tentang mengajariku agar aku mendapat nilai sempurna dalam pelajaran. Mungkin dia terlalu sibuk memikirkan tugasnya itu, sehingga dia lupa untuk mengajariku sopan santun." Jawabku sekenanya.
Mama diam tak bergeming.
"Sudahlah, bukankah waktu kalian hanya dua jam? Jangan perdulikan aku, lebih baik kalian segera kembali ke Venesia." Lanjutku.
"Alice! Kamu ini!!" Papa tiba-tiba menghampiriku, dan mengangkat tangannya, hingga..

Tok, tok, tok..
"Permisi" terdengar suara seseorang di luar sana sambil mengetuk pintu.

Mama segera menghampiri pintu utama, dan membukanya.
"Oh, Mr. Lee. Silahkan masuk." Sapa ibuku ramah pada tamu itu.
Mereka berdua berjalan menuju ke arahku. Sedangkan Papa saat itu telah meninggalkanku sendirian di ruang belajar.
Mama mengenalkanku padanya, lalu setelah itu berpamitan.

Sesi bimbingan belajar telah usai. Namun selama pembelajaran tadi, aku sama sekali tidak dapat berkonsentrasi pada pelajaran.
'Mana bisa aku fokus belajar, kalo gurunya ganteng kayak gini, masih muda, ditambah baik pula.' Pikirku.
"Baiklah Alice, materi hari ini sampai disini saja dulu. Pekan depan kita lanjut ke materi baru ya." Ucapnya sambil tersenyum manis.
"Eh.. em, ba.. baik Mr. Lee!" Seruku.
"Oh iya, panggil saja saya Abang, atau nama pun boleh. Toh kan kita hanya beda usia tiga tahun. Saya jadi berasa tua kalau kamu panggil 'Mr.Lee'."
"Emm, okedeh Mr! Ups, maksudku Abang hehehe." Aku malah salah tingkah, terkejeh pula. Ini sangat memalukan Alice!
"Kalau gitu, Abang pamit dulu ya. Masih ada jadwal kampus."
"Oh iya, mari aku antar."

Entah kapan terakhir kali aku tersenyum riang sebelumnya. Namun, hari ini senyumku kembali lagi.

Bersambung..

Wall Will WellWhere stories live. Discover now