satu dari satu

78 3 0
                                    



14 Desember 2016

Suara embusan angin terdengar, mengalun indah seraya membawa segala kenangan bersamanya. Kicauan burung camar yang dari tadi terdengar, kini mulai pudar terbawa oleh angin. Mataku terpejam sesaat untuk menikmati siksaan indah yang sudah biasa kurasakan. Perlahan, tetesan hujan mulai turun bersamaan dengan air mataku yang mulai luruh.

Pada sore yang tenang ini, hujan turun.

Hujan yang turun hari ini membuat matahari kehilangan tempat untuk bersinar. Sinarnya terselimuti oleh awan gelap. Seperti biasanya, saat hujan, aku juga merasakan kehilangan. Aku kehilangan dia, dia sang penikmat hujan.

***

15 Desember 1996

Kalender menunjukkan angka kelima belas pada bulan Desember.

Seorang gadis kecil dengan rambut hitam lurus yang panjang sedang asyik bermain di depan teras rumahnya. Halaman rumahnya yang penuh bunga berwarna-warni tentulah membuat beragam jenis kupu-kupu selalu singgah di sana. Sang gadis kecil sangat senang mengejar kupu-kupu bersayap indah dan berusaha menangkapnya.

Angin Desember mulai berembus kencang, membuat rambut panjang sang gadis kecil berkibar-kibar tak tentu arah. Awan gelap mulai bergulung-gulung, semakin tebal menutupi sinar jingga matahari sore. Gadis kecil itu tetap bergeming, seolah tidak takut tubuhnya akan basah terkena guyuran air hujan yang dingin menusuk kulit.

"Adelia, main di teras saja! Sebentar lagi, hujan turun," seru ibunda dari gadis kecil yang bernama Adelia itu.

"Sebentar, Bunda! Kupu-kupunya susah sekali dikejar," omel Adelia seraya mengerucutkan bibirnya.

Gerimis mulai turun. Perempuan paruh baya itu tidak ingin anaknya sakit, sehingga dengan cepat ia berlari menghampiri anaknya, lalu mendekapnya dan memaksanya berlindung di naungan atap teras rumah.

"Bun, Adelia masih mau mengejar kupu-kupu itu," keluh Adelia.

Sang ibu menatap gemas anaknya, "Adelia Sayang, kupu-kupu tidak perlu kamu kejar. Biarkan ia terbang sesukanya. Yang kamu bisa lakukan hanyalah menikmati keindahan sayapnya."

Adelia memandang mata ibunya, tertegun mendengar ucapannya, "Kalau begitu, Adelia mau jadi kupu-kupu. Bisa terbang sesuka hati, punya sayap indah. Adelia iri sama kupu-kupu. Kalau Adelia bisa terbang, Adelia juga bisa menyusul Ayah ke langit tempat tinggalnya."

Sang Bunda memandang sendu gadis kecilnya. Tangannya menengadah, sengaja untuk menyentuh air hujan yang semakin deras. "Kamu tahu, tidak? Sebelum kupu-kupu memiliki sayap yang indah seperti yang kamu lihat sekarang, kupu-kupu melalui proses perjuangan yang panjang. Mereka sempat menjadi makhluk yang jelek dan dianggap parasit oleh manusia. Begitu pula dengan kamu. Saat ini, kamu hanyalah seorang anak kecil yang bergantung kepada Bunda. Suatu hari nanti, kamu bisa menjadi 'kupu-kupu'. Kamu bisa terbang sesukamu, tidak perlu Bunda awasi lagi seperti sekarang."

Karena kepolosannya, Adelia hanya bisa memasang wajah bingungnya.

"Mungkin kamu tidak mengerti apa yang Bunda katakan sekarang, tapi suatu saat kamu akan mengerti."

***

31 Desember 1996

Pada malam tahun baru, biasanya orang-orang akan merayakannya dengan pesta kembang api, membuat steak, dan hal-hal yang merupakan pemborosan lainnya. Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi keluarga kecil yang tinggal di sudut kota ini. Keluarga yang hanya terdiri dari seorang ibu dan anak perempuannya itu merayakan malam tahun baru dengan duduk bercengkrama di teras rumah mereka.

Promise [1/1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang