Part 1

84 10 3
                                    


Ellena Hoggens, nama pemberian orangtuaku 16 tahun silam. Kini diriku hanya memiliki seorang ayah, pasalnya ibuku sudah diundang oleh Tuhan menuju surgaNya beberapa bulan lalu. Memang tak mudah menerima duka mendalam ini, namun apapun yang Tuhan hendaki, itulah yang terbaik bagi keluarga kami. Kini yang tersisa setelah sepeninggalan ibunda tercinta yaitu hanya diriku, kakak lelakiku dan ayahku.

Setelah sepeninggalan ibuku, kami berpindah pindah tempat tinggal ke beberapa kota karena pekerjaan ayahku sering berpindah tempat hingga terpaksa kami memilih untuk ikut kemanapun ayahku pergi berpindah tempat. Namun, ternyata hal ini berdampak negatif bagi pendidikanku dan kakaku. Hingga ayah kami memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan menetap di suatu tempat.

Dan kini kami tinggal di kota kecil di Jerman. Sebetulnya diriku agak keberatan saat kakaku meminta agar kami berpindah ke Jerman, pasalnya diriku memang tak bisa berbicara bahasa Jerman karena memang aku dibesarkan di London jadi diriku hanya menguasai bahasa Inggris British bukan Amerika dan sedikit bahasa Prancis.

Elliot Hoggens, seorang lelaki yang bijaksana walaupun usianya yang baru menginjak 18 tahun. Mengapa dirinya lebih memilih Jerman dan Ayah menyetujuinya, karena dirinya akan memilih Universitas yang dianggapnya sangat bagus dan bergengsi untuk anak-anak pemilik IQ tinggi seperti kakakku yang nantinya akan ia pilih sebagai sekokah lanjutannya setelah lulus sekokah menengah atas. Ku akui dia memang sangat cerdas namub dalam hal percintaan dia sungguh payah.

Sebenarnya diriku juga harus berterimakasih kepada kakakku karena telah memilih Jerman sebagai tempat kami menetap kali ini karena disinilah akhirnya diriku menemukan secuil kisah cinta seorang gadis yang sangat manis.

"Hei, kau sedang memikirkan apa? Bahkan kau tak berkedip sejak makananmu disajikan" seketika buyar lamunanku barusan. Padahal selanjutnya diriku akan melamunkan lelaki tampan yang telah memikat hatiku dengan sekejap.

"Aku tau kau sedang memikirkan sesuatu, tapi setidaknya makanlah dulu sarapanmu, sayang" ucap ayah sambil memasang senyuman kecil yang manis. Dibandingkan dengan kakakku, ayahku jauh lebih tampan darinya, karena Elliot selalu menempelkan wajah datar setiap harinya.

Sadar akan angka yang ditunjukkan jam saat ini, diriku bergegas menyantap sarapanku dan segera berangkat ke sekolah. Sudah kurang lebih 2 bulan kami menetap di Jerman dan kini negara ini sedang dilanda musim penghujan yang lumayan lebat.

"Nak, jangan lupa bawa payung kalian. Jangan sampai kalian membiarkan seragam kalian basah terkena hujan" ayahku yang baik ini senantiasa mengingatkan kami akan hal sepele tersebut. Untukku, pengingatan seperti itu sudah tak perlu lagi karena usiaku yang kini sudah duduk di bangku sekolah menengah atas.

"Baik yah, kami berangkat dulu" ucapku bersamaan dengan kakakku. Ayah hanya membalasnya dengan senyuman manis yang sama seperti tadi pagi saat sarapan.

"Cerah ya? Tumben sekali" ucapnya setelah menutup pintu rumah kami. kakakku memang aneh, disaat hujan dia seperti tidak ingin air menetes dan membasahi seragamnya. Namun disaat hari cerah, dia memandang ke arah langit dan memasang wajah kesal. Entah apa yang dipikirkan lelaki yang satu ini. Sungguh pemikirannya tak pernah dapat kucerna dengan baik.

"Apa kakak sudah memiliki banyak teman?" kataku memecah keheningan yang sesaat datang setelah kami berjalan beberapa meter dari rumah kami.

"Teman? Kurasa diriku sudah tak membutuhkannya" jawabnya dengan wajah polosnya. Ya memang dia tak pernah memikirkan pertemanannya yang berdampak pula dengan kisah cintanya yang masih kosong hingga kini.

"Apa kau yakin kak? Kakak tak membutuhkan teman? Bagaimana jika ada tugas kelompok? Apakah kau mendapatkan kelompok?" kali ini dia pasti aakn kewalahan menjawabku.

"Tentu, aku tak pernah tertarik dengan adanya teman. Berkelompok? Mereka akan berbondong-bondong mengincarku karena diriku murid teladan di kelasku, Ellena" jawabnya dan lagi-lagi dirinya menjawab pertanyaanku dengan santai dan mukanya yang, datar.

"Mengapa kakak tidak tertarik memiliki teman?" tanyaku kembali kepada kakakku dan kuyakin dia pasti akan menjawabnya dengan mudah dan tentu saja dengan raut muka polosnya itu.

"Hah? Yang benar saja, tertarik? Asal kau tau, mereka hanya memanfaatkanku saj-" kata-kata kakakku terpotong karena ada seseorang yang memegang pundaknya dan dia adalah Hagen Anderson. Ya Hagen Anderson, seorang yang tampan yang telah merebut cintaku.

"Astaga?! Hagen Anderson?!" kataku lantang yang seketika membuat pandangan kakakku dan Hagen tertuju padaku. Dan mereka berdua memasang wajah heran sehingga membuatku, malu.

"Kau, Ellena?" Kata Hagen setelah merubah raut wajahnya menjadi wajah datar namun masih ada senyum kecil terpatri di wajah tampannya seraya mengulurkan tangan kepadaku.

"Hagen Anderson" katanya kemudian.

"E... Elen... Ellena.. Hoggens" jawabku dengan suara terbata-bata. Astaga Tuhan, sekarang diriku pasti terluhat memalukan dengan semua rona merah yang kuyakin terlihat jelas di wajahku.

"Ellena, nama yang bagus. Ngomong-ngomong dirimu tau namaku dari mana? Kita belum pernah berkenalan sebelumnya, bukan?" tanyanya kembali yang membuatku benar-benar bingung bagaimana menjawabnya.

"A.. Aku.. Aku tau namamu dar-"

"Ellen!" Seseorang memanggilku dari jauh dan diriku tak dapat melihatnya karena terlalu jauh dari batas pandangku. Dan panggilan tadi benar-benar membuatku kaget dan memotong jawabanku barusan. Tapi sebenarnya siapa dia? Lelaki? Memanggil namaku?

---

Oke maaf ya jelek, ini emang baru nyoba bikin karangan yang ntah kalian suka atau nda 😵

Makasih yang udah baca dan jangan lupa terus baca selanjutnya ya

Ditunggu kritik dan sarannya dan juga votenya yaa 😊

Neko-Dex

Late Fall In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang