Part 2

47 9 4
                                    

"A.. Aku.. Aku tau namamu dar-"

"Ellen!" Seseorang memanggilku dari jauh dan diriku tak dapat melihatnya karena terlalu jauh dari batas pandangku. Dan panggilan tadi benar-benar membuatku kaget dan memotong jawabanku barusan. Tapi sebenarnya siapa dia? Lelaki? Memanggil namaku?

---

Tapi sebenarnya dia siapa? Lelaki? Memanggil namaku?

Dia yang memanggilku barusan terus berlari mendekat ke arah tempatku berpijak sekarang. Dan saat dirinya mulai mendekat dan wajahnya mulai terlihat jelas, aku menyadarinya bahwa dirinya orang yang kukenal tapi kulupa siapa namanya.

"Hei, ini terimakasih atas bantuanmu kemarin" ucapnya setelah posisinya benar-benar di depanku dengan nafas tidak teraturnya, badannya tertunduk seperti orang Jepang memberi salam dan keringatnya yang berjatuhan. Beberapa detik setelahnya, dirinya menyodorkan selembar sapu tangan putih dan tertera namaku dengan bordiran benang hitam.

"Maaf, kau siapa? Dari mana kau mendapatkan sapu tanganku?" tanyaku dengan heran. Sebenarnya diriku lumayan curiga dengannya, apa dia mencurinya?

"Secepat itukah kau melupakanku Miss Hoggens? Bukankah kau sendiri yang meminjamkanku sapu tangan itu kemarin sore?" jawabnya dengan menaikkan salah satu alisnya.

"Benarkah? Lalu bagaimana kau tahu kalau diriku sedang disini? Apakah kau memata-mataiku? Bagaimana dengan namaku? Tau dari mana?". Diriku mulai curiga akan jawabannya sehingga kubuat dia menjawab pertanyaanku lagi.

"Maaf Ellena, rute perjalananku dari rumah ke sekolahku memang lewat jalan ini dan tadi diriku tidak sengaja melihatmu, jadi kupanggil namamu dan soal namamu aku tau dari sapu tanganmu". Jawabnya dengan menampangkan raut kesalnya.

"Baiklah terimakasih sapu tangannya Miss." ucapnya kemudian saat diriku sedang mencerna perkataannya dan mengingat apa yang terjadi kemarin sore hingga diriku meminjamkan sapu tanganku. Setelah kuambil sapu tangan dari tangannya, dia berlari kearah dimana dia memanggil namaku tadi.

"Tak kusangka adikku pelupa" kakakku mengucapkan kata-katanya yang sungguh menusuk dengan senyum ejekan yang tertuju padaku.

Kubalas dirinya dengan tatapan tajam mataku. Terkadang kakakku memang begini, selalu berkata seenaknya tapi dalam bertindak sungguh sangat bijaksana.

"Ayolah, apa kalian akan saling menatap? Kita akan terlambat jika kalian terus begini". Ternyata Hagen membuka mulutnya setelah melihat adu tatapan sengitku dengan kakakku.

"Baiklah" timpal kakakku disaat dirinya memalingkan wajahnya dariku.

***

Sapu tangan? ah iya, kemarin diriku bertemu dengan seorang lelaki yang menangis di depan kedai tempatku bekerja paruh waktu. Saat itu dirinya terlihat sangat tidak karuan dengan air mata yang berlinang cukup deras. Karenanya kupinjami dirinya sapu tanganku.

Tuhan, mengapa aku melupakannya? Tadi terlihat sangat memalukan astaga. Dia mengenakan seragam yang sama denganku, berarti dia juga sekolah di SMA yang sama denganku.

Tapi namanya, ntah kulupa namanya. Sepertinya, William Henner.. Henner... Henner siapalah ntahlah nanti akan kucari.

Tapi bagaimana jika namanya bukan William? Bagaimana nanti jika diriku salah orang? Astaga, diriku akan mengemban malu besar. Padahal aku baru pindah ke sekolah ini beberapa bulan lalu dan diriku sudah di-

"Ellena Hoggens!" seru Mr.Wilson yang benar-benar membuatku kaget.

"Iya, Pak?" jawabku ketakutan. Jujur, untuk sekarang memang diriku takut karena Mr.Wilson adalah pengajar mata pelaaran sejarah di sekolahku yang terkenal dengan kegalakannya. Maaf, bukan kegalakannya namun kedisiplinannya. Dirinya memang sering kali berkata bahwa dirinya tidak galak, hanya disiplin. Ya terserahlah, kini diriku hanya berharap dia tak mengeluarkan pertanyaan yang aneh seperti yang ia lakukan pada murid-muridnya yang tak memperhatikan pelajarannya.

"Jelaskan tentang peristiwa hancurnya tembok Berlin!" tanyanya. Astaga mati aku matii.

"Tembok berlin adalah sebuah tembok yang runtuh oleh blok ba-"saat diriku mencoba menjawabnya, pintu kelas dibuka oleh seseorang. Seluruh mata tertuju pada sosok tersebut. Terberkatilah, terimakasih sudah membuka pintu kelasku, dengan ini diriku tak perlu menjawab pertanyaan Mr.Wilson lagi.

"Yaampun ketua Osis, tampan sekali dia?!!" teriak siswi-siswi kelasku histeris. Apa? Ketua Osis? Bukannya dia yang tadi pagi mengembalikan sapu tanganku? Ah tidak, sekali lagi aku benar-benar percaya kalau itu dirinya.

"Maaf Mr.Wilson saya mengganggu. Saya akan menginformasikan kepada seluruh siswa kelas satu, namun mikrofon ruang pemberitahuan tidak berfungsi, jadi akan saya informasikan secara manual. Baiklah, setelah jam istirahat, segera berkumpul ke ruang aula, kepala sekolah ingin berbicara sesuatu kepada kalian. Baiklah sekian, Terimakasih atas waktunya Mr.Wilson"ucapnya panjang lebar, namun tak kuperhatikan.

Setelahnya, pelajaran berjalan kembali seperti sedia kala tanpa adanya pertanyaan yang membingungkanku tadi.

***
"Ellena, ayo ke aula?" ajak Clarissa tapi tak kugubris sekalipun. Kepalaku terasa sangat pusing dan berat, badanku lemas, keringat dinginku mulai menampakkan dirinya.

"Ellena, kau baik-baik saja?" Clarissa memastikan keadaanku. Namun tubuh ini tak cukup kuat untuk mengeluarkan suara jawaban dari mulutku ini sehingga hanya kujawab dengan gelengan kepala saja.

"Baiklah, beristirahatlah nanti akan kuberi tau apa yang dibicarakan di aula". Clarissa memang baik, namun diriku tak suka kepribadiannya yang gemar berganti kekasih.

Argh, lebih baik kupejamkan mataku sejenak dan mengistirahatkan tubuhku agar lebih rileks nantinya.

***
Ditengah tidurku yang nyenyak, tercium sebuah wewangian yang sungguh sangat nyaman untuk dihirup. Wanginya seperti wangi bunga, namun diriku tak mengenalnya padahal dulu aku sempat bekerja paruh waktu di sebuah kios bunga di dekat sekolahku di London.

Jika itu parfum, kupastikan harganya setara dengan harga sewa apartemen setiap bulannya. Disamping itu, diriku merasakan ada seseorang yang memperhatikanku secara diam-diam. Sehingga membuat kesadaranku mulai merasuk dalam tubuhku kembali setelah berkeliaran di alam mimpi.

Saat ku buka mataku, terlihat samar-samar seseorang berada di depanku. Tidak, bukan didepanku namun tepat didepanku. Tak terlalu jelas karena rambutku menutupi pandanganku. Saat kuhempaskan rambutku yang tercecer di depan dahi, terlihat seorang lelaki yang familiar di mataku.

Setelah ku ingat-ingat ternyata dia, Astaga?!

"William?!!" teriakku tiba-tiba.

"Kau terlihat cantik saat dirimu tidur, Ellena" ucapnya dengan senyum jahilnya.

"Astaga, apa yang kau lakukan disini?!" yaampun, Tuhan memalukan sekali diriku dan pastinya kali ini aku akan dihukum karena bolos pertemuan di aula.

"Harusnya aku yang bertanya begitu padamu. Tapi sudahlah, lupakan saja. Bagaimana kalau kita bersenang-senang selagi mereka mendengarkan ceramah pak tua di aula?" kata William sambil menampangkan wajah malasnya. Wait, apa yang dia katakan tadi? Pak tua? Tidak kusangka ketua osis berkata begitu untuk memanggil kepala sekolahnya.

Tak kujawab pertanyaannya dan segera kujatuhkan kepalaku ke meja dan melanjutkan tidurku yang tertunda tadi. Seketika saat diriku menggerakan tanganku untuk menutupi telingaku agar tak mendengar ocehan ketua osis dengan segala saran tentang kemana kita akan, maaf bukan kita tapi dia akan pergi bersenang-senang, disambar tanganku sehingga membuatku tersentak dan mengangkat kepalaku.

----

Maaf jelek yaa, baru nyoba bikin cerita dan semoga kalian yang baca pada suka sama ceritanya, maaf kalo banyak typo

Ditunggu kritik dan sarannya yaa..

Baca terus ceritanya yaa, comment dan vote jangan lupa okey😊

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 26, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Late Fall In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang