17. Dilema

4.6K 308 64
                                    

Sudah tiga hari ini Dito sama sekali tak bersemangat. Terutama saat di sekolah. Hari Jumat kemarin, Alta tidak masuk sekolah. Seharian Dito hanya murung di kelas dan tak menghiraukan teman-temannya. Dito juga sudah mencoba menelepon Alta, tapi anak itu masih belum juga mengaktifkan nomor ponselnya.

Akibatnya, Dito hanya bisa menunggu dan pasrah hingga hari Senin tiba. Dito juga sadar jika Alta masih dalam masa berkabung karena kematian Omanya. Itu sebabnya, dia tidak ingin mengganggu dan membiarkan Alta sendiri dulu.

Sepanjang malam Minggu, Dito tidak pergi ke mana-mana. Dia menolak saat Clara mengajaknya hangout. Dito hanya mengurung diri dalam kamar dan baru keluar Minggu pagi ini, saat kedua orangtuanya memintanya untuk sarapan bersama. Karena kebetulan, orangtuanya sedang berada di rumah.

"Dit, gimana kabar Clara? Kalian berdua baik-baik aja, 'kan? Kok kamu nggak pernah ngajak dia main ke sini, sih?" tanya Wanda yang mengagetkan Dito dari lamunan panjangnya tentang Alta.

"Kemarin dia ke sini kok, tapi Mami lagi di Manila," jawab Dito malas-malasan.

Sedari tadi dia juga tidak berselera memakan nasi goreng seafood buatan asisten rumah tangga di rumahnya. Maminya tak mungkin mau memasak. Selain karena tidak bisa, wanita itu juga lebih mementingkan pergaulan dengan teman-teman sosialitanya yang tidak jelas dan kerjanya hanya menghabiskan uang suaminya.

Sementara Hendri hanya melirik anaknya itu lewat sudut mata dari balik koran paginya, lalu menyesap kopi hitam yang lagi-lagi buatan asisten rumah tangga di rumahnya.

"Sekolahmu gimana? Sudah dipikirin belum, nanti mau kuliah di mana?" tanya Hendri lekat-lekat.

"Soal itu gampang, Pi. Kuliahin aja Dito di Aussie, beres 'kan?" sahut maminya.

"Ngapain jauh-jauh ke sana? Di sini juga banyak kampus yang bagus, kok. Kalau dia mau kuliah di luar negeri, ya biar dia cari duit sendiri," balas papinya dengan wajah datar.

"Papi ini sama anak kok pelit banget, sih!" ucap Wanda tidak setuju.

Dito diam saja dan hanya menunjukkan wajah datar. Dia sedang tidak ada minat berdebat dengan kedua orangtuanya. Untuk sarapan bersama saja, sebenarnya dia malas karena kedua orangtuanya jarang sekali berada di rumah dan memerhatikannya, terutama maminya. Dalam sebulan bisa dihitung dengan jari seberapa sering mereka duduk bersama di meja makan.

"Dito, kamu ditanya kok diem aja?" tanya Hendri yang tak menggubris ucapan istrinya.

"Nggak tau lah, Pi. Aku masih belum ada pikiran mau kuliah di mana," jawab Dito tak berminat. Hendri menaikkan satu alisnya mendengar jawaban Dito yang acuh tak acuh itu.

"Kamu harus mulai pikirin mau kuliah di mana, Dito. Bentar lagi kamu lulus. Papi rasa kuliah di dalam negeri juga nggak ada masalah. Banyak juga kampus yang bagus di sini," ujar Hendri bijak.

"Aku sih maunya kuliah di Jakarta aja, Pi," jawab Dito yang mulai sedikit menanggapi ucapan papinya.

Hendri manggut-manggut lalu meletakkan koran yang tadi dibacanya. "Nggak masalah kamu mau kuliah di mana. Yang penting kamu kuliah yang bener," ujarnya.

Dito menganggukkan kepalanya lalu mulai menyuap nasi gorengnya yang sudah dingin.

"Tapi kamu jangan pilih kampus yang biasa-biasa aja, Dito. Paling nggak, yang bisa buat dipamerin ke temen-temen arisan Mami," sahut Wanda. 

Hendri dan Dito memutar bola matanya mendengar penuturan wanita itu.

"Mami ini apaan sih? Kenapa ngomongin hal yang nggak penting begitu?" jawab Hendri terlihat tidak senang.

BETWEEN YOU & USTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang