Part 6

1.1K 128 10
                                    

Author POV

"Waktu kematian 6.53 WIB, segera hubungi keluarga pasien" Akran merundukan kepalanya dalam. Tangannya mencengkram kuat pinggiran kasur. Nafasnya tersengal-sengal dan peluh tidak berhenti mengalir dari pelipisnya.

"Tolong selesaikan semuanya" pinta Kanifa. Ia menatap Akran dalam diam. Semua Dokter akan merasakan hal yang sama jika pasiennya tidak berhasil mereka selamatkan. Salah besar bila berfikir bahwa hanya keluarga yang sedih. Dokter pun merasakan hal yang sama karena mereka menganggap pasien-pasien tersebut adalah keluarganya.

"Mau cari udara segar?" ajak Kanifa canggung karena sepertinya Akran membutuhkan itu. Siapa sangka pria itu mengangkat kepalanya dan menatap lurus Kanifa.

"Ngga, makasih. Gue mau nunggu keluarganya datang" Kanifa mengangguk tanda mengerti. Ia lebih memilih untuk mencari udara segar di taman rumah sakit. 

Kematian. Sesuatu yang ia rasakan sangat dekat dengannya setelah ia bekerja dirumah sakit. Dari pasien-pasien yang ia rawat sebelumnya, beberapa memang sudah ada yang di gariskan untuk menghadap sang Kuasa. Tiap kali melihat pasien-pasien yang tidak bisa ia selamatkan, itu menjadi tekanan tersendiri bagi dirinya.

Tapi hal yang selalu ia ingat adalah perkataan dari Dokter penanggung jawab koas nya dulu. Dokter bukanlah Tuhan yang bisa mencabut nyawa atau menyembuhkan orang dalam sekejap. Apa yang Tuhan gariskan terjadi, maka terjadilah. Jangan pernah salahkan dirimu sendiri atas kematian pasienmu nanti karena percayalah, Tuhan sudah menyiapkan tempat terbaik bagi mereka. Kanifa menghirup oksigen sedalam-dalamnya. Ia yakin Akran merasakan hal yang sama dengannya. Apalagi, ia telah melakukan operasi panjang yang pasti ia harapkan akan berhasil.

Perempuan itu memutuskan untuk membeli sekaleng Milo dingin untuk Akran. Hitung-hitung sebagai balas budinya karena dulu Akran pernah memberikan Milo padanya. Suara tangisan yang kencang menggema di sepanjang lorong menuju ruang operasi. Di depannya ia melihat Akran berdiri di depan seorang wanita yang masih muda dan seorang anak kecil.

"Dokter bohong!! Dokter bilang akan menyembuhkan Papa!!! Tapi sekarang Papa malah pergi" teriak anak perempuan tersebut. Tangannya yang kecil memukul-mukul kaki Akran sementara pria itu hanya berdiam diri.

"Sekali lagi saya meminta maaf dan mengucap bela sungkawa sebesar-besarnya. Ini diluar kehendak saya dan saya pun tidak menginginkan hal ini terjadi" ucap Akran dengan suara bergetar. Wanita tersebut mengangguk dan memeluk bocah perempuan itu.

"Dokter jahat, Ayla benci Dokter!!! Ayla benci Dokter yang udah ambil Papa Ayla!!" Kanifa tertegun mendengar ucapannya. Ia ingin mendekat tapi kakinya terasa sulit di gerakan. Pintu ruangan intensif terbuka. Beberapa suster terlihat mendorong sebuah ranjang dengan tubuh yang terbaring di atasnya.

"PAPAAAAA!" tangisan anak itu semakin kencang ketika ia membuka kain putih penutup tubuh sang Ayah. Tak terasa air mata Kanifa ikut menetes. Wanita paruh baya itu hanya bisa mendekap erat anaknya yang menangis kencang. Setelah mengucapkan terimakasih, keduanya mengikuti kemana jenazah dibawa. Akran langsung terduduk di salah satu bangku disana. Ia menundukan kepalanya sembari menjambak rambutnya. Perlahan, Kanifa menghampiri Akran yang sepertinya belum menyadari kedatangannya.

"Milo?" tawar Kanifa. Pria itu menatap kaleng Milo di hadapannya kemudian pandangannya terarah pada Kanifa. Matanya merah seperti menahan tangis. Itu yang Kanifa tangkap.

"Boleh pinjem bahu lo sebentar?" sebelum ia menjawab, Akran sudah menyandarkan kepalanya ke bahu Kanifa. Badannya reflek menegang karena ia tidak pernah menerima perlakuan ini sebelumnya. Mendadak ia kehilangan semua kata-kata penyemangat buat Akran. Otaknya terasa mati sekarang.

"Pasien tadi adalah pasien yang sengaja datang ke rumah sakit ini karena dengar gue tugas disini. Seorang Ayah dari satu anak perempuan yang cantik. Beberapa kali gue bicara bersama beliau dan selalu cerita tentang anaknya yang suka banget main piano. Gue yang janji ke anaknya kalau gue akan menyembuhkan beliau supaya mereka bisa main piano lagi. Tapi, gue sendiri yang mengingkari janji itu..." penjelasan Akran membuatnya mengerti kenapa ia begitu terpukul.

UnreachableWhere stories live. Discover now