PROLOG

66.5K 2.8K 40
                                    

[Aloha! Bagi yang belum tahu, cerita ini udah lamaaaa banget aku tulis. Tapi luar biasa ngaconya🤣. Lepas dari penerbit yang gak tau apa kabarnya, aku memutuskan menuliskan ulang kisah ini. Kita mulai dari awal, ya. Bagi kalian yang udah baca kisah ini dari lama, silakan baca ulang, karena pasti beda. Yang baca SAGA, aku minta maaf karena belum bisa re-write juga, soalnya udah ada kontrak sama Dreame. Saranku, baca kisah ini aja, deh. Gak usah baca ulang SAGA. Karena ini aku tulis ulang supaya bisa berdiri sendiri tanpa harus baca kisah SAGA dulu. Happy reading!]


Silaunya cahaya dari kamera tidak mempengaruhi Gena untuk berhenti mengubah gaya tubuhnya. Dia dituntut untuk melakukan demikian. Berpose dan membuat pakaian atau brand apa pun yang melekat di tubuhnya menjadi bagus dan menonjol. Tidak ada kata menyerah, Gena harus profesional bekerja dan fokus menjalaninya.

“Yap, oke! Done buat hari ini, ya. Mbak Gena, thank you udah mau ambil job bareng kita. Padahal baru aja lahiran.”

“Justru aku yang mau bilang makasih. Kalian udah percaya aku bisa jadi model untuk pakaian ini. Ya ampun, aku takut kalo badanku yang udah melar malah bikin bajunya nggak stand out!

“Loh? Justru aku bingung, Mbak Gena baru lahiran badannya udah balik bagus. Makanya kita yakin banget Mbak Gena bisa bikin bajunya—”

“Sayang! Gab, udah nangis. Kamu udah selesai apa belum?”

Itu suara Bian. Pria itu sering menginterupsi apa pun yang Gena lakukan jika itu berurusan dengan pekerjaan.

“Oh, Milly. Sorry banget, ya. Kita nggak bisa ngobrol banyak. Anak dan suamiku udah nunggu.”

Gena buru-buru menuju ruang ganti, dia tidak memiliki waktu untuk menghapus riasan wajah dan rambutnya, sebab Bian sudah memasang wajah cemberut.

Begitu selesai, Gena langsung menuju Bian. “Hei. Jangan cemberut, dong!”

“Kamu tau aku nggak suka kamu kerja. Aku udah bilang kalo aku bisa menghidupi kamu—”

Gena langsung membekap mulut suaminya. Menarik Bian untuk segera menuju mobil mereka. Tidak ada balasan yang Gena berikan karena hanya akan terus dibantah oleh Bian.

Pria itu tidak akan pernah paham, bahwa yang dilakukan Gena saat ini adalah untuk mempertahankan dirinya sendiri. Suatu saat, kontrak pernikahan mereka akan habis, pria itu menceraikannya, maka Gena harus bisa bertahan dengan kedua kakinya sendiri.

Tak membutuhkan waktu lama bagi Gena untuk menyusui putranya. Dengan penutup kain, perempuan itu memastikan sang bayi meminum ASI dengan kuat.

“Kapan kamu akan memberikan surat cerainya?” tanya Gena.

“Apa?!”

Bian terlihat tak suka dengan pertanyaan perempuan itu.

“Kamu yang bilang sendiri bahwa pernikahan ini cuma sementara. Kamu berniat membuat ibu kamu bahagia, dan kita udah berjalan terlalu jauh. Bahkan Gab lahir diluar rencana kita.”

“Seberapa besar rasa nggak sabar kamu untuk lepas dariku? Kamu bahkan udah diputusin pria itu. Apa kamu keberatan menjalani hari-hari lebih lama dengan aku dan Gab? Sebegitu muaknya kamu melihat si homo ini—”

“Kenapa kamu selalu marah dan membawa-bawa kata-kata itu!? Aku nggak pernah berpikir begitu! Kamu sendiri yang berpikir buruk soal diri kamu sendiri!”

“Terus apa alasannya kamu mendesak perceraian!? Karena kamu udah nggak tahan hidup sama aku, kan?”

Bukan. Alasan sebenarnya, aku nggak mau semakin jatuh cinta sama kamu, Bi.

HOLD ME TIGHT (re-write)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang