Bu Lim Su Cun.
(Seruling Samber Nyawa).
Gan KH.
Jilid 01.
Malam telah larut, musim rontok menjelang habis, puncak Tay-soat san nan abadi ditaburi salju yang membeku, Diatas ngarai bersalju di puncak pegunungan yang jarang diinjak kaki manusia, terlihat sinar pelita kalap-kelip ditengah kabut tebal yang mengembang datar diatas permukaan bumi.
Sebuah gubuk reyot dibangun diatas ngarai itu terbungkus oleh kembang salju, sinar pelita kelap-kelip itu tersorot keluar dari gubuk reyot melalui celah-celah jendela.
Kesunyian mencekam alam sekelilingnya dibawah cahaya pelita yang remang-remang menyinari keadaan prabot dan suasana yang yang sederhana dalam gubuk reyot itu, menghadapi pelita kecil diatas meja duduklah dua orang berhadapan keduanya membisu sekian lamanya.
Seorang yang duduk diatas adalah seorang nyonya cantik yang menyanggul rambat diatas kepalanya, pada wajahnya yang cantik itu terunjuk rasa masgul dan penuh gelisah, matanya mendelong memandangi pelita entah apa yang tengah direnungkan, seorang lain yang duduk di hadapanaya adalah pemuda yang berusia empat-lima belas tahun berwajah putih cakap. Dengan mendelong ia awasi wajah si nyonya yang dirundung kesedihan itu, diapun membisu, tak berani bersuara.
Suasana yang sunyi ini sangat menekan perasaan. Angin malam yang dingin diatas puncak pegunungan terdengar menderu-deru di luar gubuk, sinar pelita bergoyang-goyang hampir padam, tiada terdengar lagi suara lain.
"Ibu..." Akhirnya pemuda yang mengenakan jubah putih panjang itu membuka suara: "Beberapa hari ini kau kelihatan tidak tenang, adakah sesuatu yang mengganjal dalam hatimu ataukah badanmu kurang sehat?" Setelah diberondong pertanyaan panjang lebar baru si nyonya kelihatan terbangun dari lamunan, sahutnya lemah lembut: "Giok-liong, apa yang kau katakan?" "Ibu, apakah berapa hari ini badanmu kurang sehat ?" "Hus, anak bodoh, jangan sembarangan omong. Bukankah ibumu baik-baik saja." "Tidak bu, Giok-liong tahu pasti kau terkenang lagi akan ayah." Si nyonya tertawa dibuat-buat, lalu menghela napas dengan masgul tanpa membuka suara lagi.
"Bu, jikalau hatimu kurang enak, besok kita keluar tinggalkan tempat ini untuk menghibur diri, dari pada kita selalu berdiam ditempat sunyi yang jarang diinjak manusia." Sekali lagi si nyonya mengunjuk tawa dipaksa, sahutnya selengan berbisik: "Ya, memang kita harus meninggalkan..." sampai disini sengaja ia memutar kepala untuk menitikkan dua butir air mata diatas lengan bajunya.
"Hm, bu sungguh menyenangkan kita sudah puluhan tahun tidak pernah keluar..." Memang sejak kecil ia sudah di sekam diatas ngarai bersalju ini, kini setelah mendengar ibunya melulusi untuk meninggalkan tempat yang sunyi dan menyebalkan ini tanpa terasa ia berjingkrak kegirangan, tapi secepat itu ia lantas berdiri termangu melihat sikap ibunya yang kurang wajar itu.
kata-katanya selanjutnya lantas ditelan kembali, pandangannya penuh tanda tanya, katanya bertobat : "Bu, Giok-liong memang tidak berbakti sampai melukai hatimu, Bu, jangan kau bersedih hati, untuk selanjutnya Giok-ilong tidak berani lagi." Perlahan-lahan si nyonya angkat kepala, diulurkan tangannya yang putih lembut mengusap-ngusap pundak Giok liong, dengan sorot mata yang penuh cinta kasih dan sayang ia awasi wajah anaknya, lalu ia tertawa getir dan berkata halus: "Nak, seumpama kau seorang diri harus meninggalkan tempat ini, dapatkah kau menjaga dirimu baik-baik?" Giok-liong tersendat oleh pertanyaan yang mendadak ini, sejenak ia tertegun lalu menggeleng kepala, sahutnya: "Bu, jika kau tidak pergi, Giok-liong juga tidak mau pergi." Si nyonya menghela napas panjang yang rendah, pandangannya penuh kasih sayang.