Chapter 1

161 11 5
                                    

Aku selalu mencari....
Mencari sesuatu yang tak ku ketahui...
Entah dimana, seakan ku teringat...
Suasana segar nuansa pagi hari...
Di balik bukit terbitlah matahari...
Dimanakah tempat itu berada?
Seakan ku hidup dua kali dalam dua dimensi...

"Rafi, cepatlah bangun, kau akan terlambat!"
Apa ini? Dimana aku? Atap dengan lampu mewah, sensasi kasur yang membuatku susah terbangun, dan aroma wangi ini... oh ini kamar tidurku.
"Rafi!!!!"
"Ya ayah aku sudah bangun!!!", teriakku sambil mengucek-ngucek kantung mataku.
Maklumlah, semalam aku belajar teori relativitas dengan guru privatku, setelah itu aku berlatih menggambar realistik. Itu semua tuntutan ayahku. Sebaiknya aku harus bergegas sebelum dia menghampiri singgasanaku, inginnya begitu tapi tubuhku lebih memilih berselanjar sajaaaa......ga jadi. Lebih baik aku mengamankan nyawaku saja.
Aku bergegas masuk ke kamar mandi dan melakukan kegiatan harianku. Setelah itu ku memakai seragamku dan pergi ke tempat suara tadi berasal.
"Rafi, kemana saja kau?! Kau telat 5 menit dari biasanya" teriak ayah di meja makan.
"Ya elah yah, cuma 5 menit ini," ucapku santai sembari duduk di kursi kosong di meja itu.
"Satu detiknya berharga!!! Kau tak ingat apa yang terjadi pada ibumu hah?!!" lagi-lagi ia menceramahiku.
"Ya aku ingat," aku menundukan kepala, hal yang satu ini tak bisa kusepelekan.
Ayahku adalah seorang bos mafia di kota Demist. Demist berarti Menghapus Embun, dulu kota ini bersejarah dan dikenal sebagai salah satu kota besar suatu negara yang disebut Indonesia. Sudah 20 tahun sejak peristiwa itu terjadi. Menghiraukan tentang sejarah kota Demist, ayahku memimpin geng Gagak Hitam. Itu adalah nama mafia yang menguasai kota ini, dan aku anaknya.
"Cepat habiskan makananmu dan mulailah harimu dengan semangat kebanggaan kelompok kita," ucapnya sok bijak dengan muka sangarnya.
"Aku tau, 'Jika kau punya kekuatan untuk mengubah dunia, lakukanlah sesukamu', kan?" aku mengucap ulang moto yang terpampang di atas hiasan di ruang makan kami.
Aku hanya memakan sedikit makanan di atas meja itu. Lagi-lagi steak tenderloin ditaburi saus barbeque, aku bosan, dan tidak berselera. Aku berangkat dan berpamitan dengan ayahku. Sesampainya di depan pintu rumah, lagi-lagi aku diantar oleh supirku.
"Mobil sudah siap, tuan muda," ucapnya dengan menundukan kepalanya sebagai tanda hormat kepada anak bos mafia.
Cih!! Aku benci kehidupan ini.
Aku memasuki mobil ku dan duduk di bangku belakang seperti biasanya. Mobil pun melaju melewati setiap sudut kota. Pohon yang rindang, gedung-gedung yang tinggi, mobil berlalu-lalang. Hingga sampailah di bangunan nan besar yang disebut sekolah. Aku bergegas keluar mobil sebelum ada yang menyadari kalau aku datang ke sekolah pagi ini.
"Nikmati waktu belajarmu, tuan muda," ucap supirku sambil menghidupkan kembali mesin mobil.
"Berisik ini di sekola-," tadinya aku mau bilang begitu, tapi dia sudah pergi, toh ga papa.
Aku memasuki gerbang sekolah. Hari-hari membosankanku akan terjadi lagi seperti biasa. Trigonometri, Statistika, Relativitas, semuanya akan keluar nanti. Lihat saja deh aku bakal muntah atau tidak.
"Hei, tuan muda, pagi-pagi sudah siap belajar ya?" ucap salah seorang dengan nada bass berat dari belakangku.
"Apa kau mengikutiku kemari?" tanyaku sedikit ketakutan.
"Bicara apa kau? Aku pergi sendiri,"
Dia adalah Clay, bukan nama aslinya, itu adalah nama pemberian ayahku. Dia adalah satu-satunya orang yang tau identitasku sebagai penerus Geng Mafia Gagak Hitam di sekolah. Nyatanya dia adalah teman masa kecilku sekaligus orang yang mengajariku Judo.
"Kenapa kau hanya berdiam diri? Cepatlah masuk, Rafi," Clay membuyarkan lamunanku lalu menata kembali kacamatanya serta merapikan rambutnya yang klimis itu.
"Kau barusan berganti kacamata lagi ya?" tanyaku sembari mengambil langkah menuju ke dalam sekolah.
"Hehe, sebagai teman masa kecilku kau perhatian juga ya?" balasnya menyombongkan diri dan menata kacamatanya lagi.
"Bukan perhatian, tapi tingkahmu menyombongkan diri dengan memegang terus kacamataku itu yang membuatku tau bahwa kau mengganti kacamata mu," ucapku datar.
Ini masih pagi hari, tapi sudah banyak siswa dan siswi yang datang. Aku dan Clay berkali-kali melewati mereka. Sebagian dari mereka nampak tersipu dan sebagian lagi nampak ketakutan. Ini pasti karena pesona Clay. Wajah tampannya di balik kacamata itu mampu memikat hati para wanita di sekolah ini bahkan termasuk guru-guru. Cih, aku jadi iri.
Mungkin aku juga harus menglimiskan rambutku juga agar menjadi tampan. Tidak itu mustahil, tampan itu bakat alami, percuma saja aku menata rambutku ke belakang kalau wajahku masih jelek. Aku mengacak-ngacak rambutku seperti biasa, karena biasanya aku tidak pernah menyisirnya.
"Ah, kelasku di sini, aku duluan ya-," aku menoleh ke arah Clay dan dia tersenyum tak jelas di belakangku.
"Ah, ok, seperti biasa, saat istirahat ku tunggu di kantin-,"
"Meja nomor 4 kan?" ucapku memotong pemberitahuan Clay.
Tanpa pikir panjang, Clay langsung pergi menuju kelasnya. Aku pun segera memasuki kelasku dan mencari bangku tempat biasa aku duduk.
"Selamat pagi," ucap seseorang dengan suara lembut.
"Selamat pag-," ucapanku terhenti saat aku tersadar bahwa aku sedang berbicara dengan Lisa. Hanya berdua di kelas ini.
Lisa adalah siswi tercantik di kelasku. Tentu banyak lelaki yang menyukainya, yah... termasuk aku sih. Tapi aku tak pernah berani untuk menunjukan mukaku kepadanya. Bagaimana kalau dia tau aku adalah penerus Gagak Hitam? Bisa gawat nanti.
"Rafi, apa ada yng salah dengan mukaku?" tanyanya sembari menyimpan tas tepat di depan bangku kesayanganku.
"Ah tidak ada apa-apa, hahaha," oh Tuhan aku salting.
"Benarkah?" tanyanya lagi meyakinkan.
"Sebenarnya rambutmu agak berantakan pagi ini. Matamu mempunyai kantung mata meski tak sebanyak punyaku. Dan wajahmu sedikit pucat hari ini. Kamu pasti begadang semalaman untuk belajar kan? Lebih baik Lisa istirahatkan badan saja, tidak baik bagi petempuan untuk belajar," itu adalah faktaku.
Lisa hanya terdiam diri bengong melihatku. Keringat mulai bercucuran membasahi dahiku. Aku baru saja berbicara dengan Lisa beberapa menit lalu dan aku sudah menceramahinya. Dia pasti akan marahkan?
"Ahaha, tenang saja, k-ka-kau masih tetap cantik," celakaaaaa... aku salah sebutttttt.
Lisa tertawa kecil sambil menutup mulutnya yang manis itu.
"Selama ini aku tak pernah berbicara denganmu tapi setrlah berbicara beberapa menit, ternyata kamu lucu juga," Ucap Lisa sambil membenarkan rambutnya yang membuatku seakan melayang.
"Ini adalah rahasia kita berdua ya?" tambahnya sambil mengetukkan telunjuk pada bibirnya yang membuat dia semakin manis.
Tunggu, rahasia.... BerDUA? Aku bisa mati bahagia di sini.
"Ah, aku harus ke toilet, permisi," ucapnya mau membenahkan diri.
Tak usah khawatir, selama kamu duduk di depanku. Aku takkan khawatir. Inginnya sih ku berkata seperti itu, tapi aku tak punya keberanian. Dan dia akhirnya pergi ke toilet. Tapi aku berhasil berbicara dengannya!! Aku harus merayakannya. Seratus push-up untuk hari ini.

ReliefTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang