Chapter 2

66 11 1
                                    

Aku selalu mencari....
  Mencari sesuatu yang tak ku ketahui...
  Entah dimana, seakan ku teringat...
  Saat sang surya mulai terbenam...
  Perlahan nuansa kota memperlihatkan dirinya...
  Dimanakah tempat itu berada?
  Seakan ku hidup dua kali dalam dua dimensi...

  Pagi ini aku terbangun kembali dari mimpi yang sama. Tentang aku yang menjadi anak kaya di sebuah kota. Bersama seseorang ku disinari jingganya waktu senja. Entah sudah berapa kali mimpi itu terjadi, seakan aku pernah hidup sebelumnya.
 
  Ku ratapi atapku yang berlubang-lubang. Nampak beberapa embun menetes dari ujung kayunya. Semalam pasti hujan turun lagi. Yah itu bukan alasan untuk tidak pergi ke sekolah. Aku tau betul bahwa sekolahku jauh dari tempat tinggalku itu, namun tak dapat disembunyikan bahwa aku memerlukan ilmunya. Karena aku tau, aku tak bisa hidup hanya dengan rumah bertata kayu ini selamanya. Suatu saat aku akan jadi seseorang yang menggerakkan dunia, setidaknya begitulah pikirku.
 
  Segera ku bangkit dari lantai itu, menata rambut panjangku yang berantakan untuk sementara. Ku tatap cermin yang terbuat dari serpihan kaca bekas. Lihatlah dirimu yang kurus ini, Vi. Kata orang-orang kamu menarik perhatian mata mereka. Itu sudah jelas bukan? Yang terbaiklah yang terpilih.
 
  Kata demi kata ku lontarkan kepada cermin yang tak bergerak itu. Aku masih tak bisa tersenyum. Masih tak bisa. Kalau begini kau akan pudar. Mataku terus menatapi diriku di cermin itu sampai sosok mentari datang menyambut hangatnya pagi ini.

   "Ini sudah siang, mungkin saatnya aku harus pergi," ucapku penuh tanya.

   Ku geser pintu kayu yang sudah lapuk itu untuk keluar dari kamarku. Kucoba satu-dua kali namun pintu itu tetap tak tergeser. Percobaan ketiga kukerahkan segala tenaga dari diriku yang kurus ini. Dan alhasil pintu bisa tergeser walau hanya setengahnya. Namun aku melihat sesosok pria yang memegangi pintu itu.

  "Kakak kau kemana saja? Hari sudah berlanjut siang dan kau belum membuatkan sarapan," ujarnya penuh kesal sambil menggeser pintu itu secara penuh.

  "Maafkan kakak, alarm nya sepertinya rusak," jawabku sambil memgelus-elus rambutnya yang berantakan itu.

   Dasar adikku ini, nyatanya kamu juga baru bangun. Kalau kamu tidak kuat tak usah dipaksakan. Tapi terimakasih karena menggeser pintu usang itu.

    "Kakak! Aku sudah besar," ujarnya sambil menepis tanganku dari kepalanya. "Cepatlah bikinkan sarapan untuk kita. Ayah dan ibu sudah pergi bekerja. Cepat atau kita akan terlambat sekolah," tambahnya dengan nada tinggi.

  "Baik baik. Akan kakak bikinkan makanan kesukaanmu untuk adikku yang manis ini," balasku sambil tersenyum.
 
  "Paling-paling cuma ikan kerapu seperti biasanya," adikku membalasnya dan segera pergi dari depan pintu itu.

   Maaf ya Arya, persediaannya cuma ada itu. Inginku berkata begitu tapi tak tega ku mengatakannya. Aku segera menyiapkan diri dan pergi ke dapur untuk memasak.
 
  Tak lama kemudian, setelah kusiapkan ikan kerapu yang ku goreng di meja kecil kami, aku segera mengambil baju sekolahku dan handuk, dan segera pergi ke kamar mandi kami yang begitu bau dan kotor. Maklum beginilah kehidupan di pedesaan.

  Sekitar lima belas menit aku mandi, ku segera membasuh badanku dengan handukku. Ku lap semuanya hingga kering lalu memakai seragam sekolah ku. Aku keluar dari kamar mandi busuk itu dan segera menghampiri adikku.

   "Arya, kenapa ikannya kamu sisakan satu?" tanyaku sambil menaruh handuk di cantulan paku di dinding itu.
 
  "Ini jatahmu. Kau selalu tak pernah makan pagi. Makanlah selagi bisa," katanya sambil memakai seragam SMP nya.
 
  "Ah, adikku ini perhatian juga ya," balasku sambil kembali mengusapkan tanganku di kepalanya.
 
  "Lepaskan tanganmu, aku sudah bilang, kan kak?" ucapnya dengan wajah datarnya.
 
  Setelah sarapan kami segera bergegas pergi ke sekolah. Ku kunci pintu itu meski bagian atapnya muat untuk dimasuki maling sih. Ku tengok adikku dengan wajah malasnya seperti biasa.

   Ya, seperti biasa pula. Kami harus berjalan kaki untuk sampai di sekolah kami. Seperti inilah kehidupan kami. Aku benci kehidupanku ini.

ReliefTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang