Aku menyaksikan sendiri ketika wanita paling kucintai, mengembuskan napas terakhirnya. Usai melahirkan buah cinta kami ke dunia.
Nian, aku tidak tahu apakah aku mesti sedih atau bahagia. Sementara, istriku telah meninggalkanku untuk selama-lamanya. Menitipkan buah hatinya ke tanganku.
Sampai saat aku mengantar jenazah ke liang lahat, aku tidak bisa bertutur kata. Menatap kosong tanah basah berbarengan dengan hujan bunga-bunga. Tebar ke tanah merah itu.
Aku belum sanggup menitikkan air mata tatkala mendengar suara tangis bayi. Dalam gendongan ibuku, aku mengosongkan pendengaran supaya aku tidak menumpahkan amarahku.
Ya, di situlah aku merasa jengkel, marah, dan tidak suka. Tidak sudi menggendong, menimang, menenangkan dan melantunkan nyanyian kepada anak kami. Ah, bukan ... bayi yang telah membuat istriku pergi.
***
Empat tahun berlalu. Aku belum mampu melupakan kesedihanku. Demi melenyapkan, aku bekerja terlalu keras. Pagi-pagi berangkat. Dini hari, aku pulang ke rumah.
Penyambutan beda dengan dulu. Istriku pasti menungguku di rumah. Berbeda dengan sekarang, aku pulang saat semua orang tertidur.
Rumah yang dihuni oleh 3 asisten rumah tangga, 2 supir, 2 tukang kebun, dan 1 pengasuh balita. Asisten rumah tangga diawasi oleh orang yang mengasuhku sejak kecil. Sengaja didatangkan dari rumah utama.
Tetap saja ... asing. Kosong. Hampa. Tidak bernyawa.
Setiap kali aku pulang, aku tidak menemukan apa pun. Sebelum pergi, aku tidak sempat makan. Begitupun ketika aku pulang.
Meja makan tidak lain hanyalah benda. Benda disusun untuk pelengkap ruang makan. Entahlah ... apa yang kudapatkan dengan itu?
Tidak ada.
Itulah mengapa, aku malas pulang ke rumah.
Alasan satu lagi selain itu adalah sesosok perempuan mungil berusia tiga setengah tahun berlari ke arahku.
***
"Ayaaah!"
Tegang kala sepasang lengan gemuk memeluk salah satu kakiku. Memeluknya erat-erat. Aku merunduk di mana dia mendongak. Mata berbinar-binar menyambut diriku.
"Ayaah, yama cekayi puyangnya," ucapnya tidak kumengerti.
Aku menggoyang kakiku, tetapi dia tidak melepasnya. Dia tidak terintimidasi oleh tatapanku, memandangnya datar.
"Yok, Yah. Makan, Yah!"
Ada sarat rindu dalam ucapannya, menyuruh aku untuk makan. Sebelum aku melontarkan kejengkelanku, Kepala asisten rumah tangga datang tergopoh-gopoh. Beliau berusia separuh baya melepas paksa secara lembut lengan-lengan mungil itu dari kakiku.
"Nona Falen, tidak boleh begitu, ya," hardik beliau bernama Ibu Sumi.
"Ndak, Nenek, Fayen mau Ayah!" bantahnya meronta. "Fayen mau makan aleng Ayah!"
"Tapi, Nona...."
Buru-buru aku pergi. Setapak demi setapak terdengar dari arah belakang. Karena kakiku panjang, aku mengabaikannya. Menuju arah tangga, meloncat tiga anak tangga. Biar anak itu tidak mengejarku.
"Aduuh!"
Aku berhenti di ujung tangga teratas saat mendengar suara ringisan dari bawah. Ada ketidaksukaan apabila seseorang terluka. Namun, egoku lebih mendominasi, aku cuek dan memilih masuk ke ruang kerja.
"Ayaaah!"
Ketidakpedulian meski dia merengek.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
[Oneshoot] Stronger ✔️
ContoAku beruntungkah? Memiliki anak masih kecil setelah ditinggal istri tercintaku. Atau aku sial? Karena tidak pandai mengurusi anak, malah mengabaikannya. Anakku yang lucu, Falenna Rasya, maafkan ayahmu kali ini. Mungkin akan beda bila kita bersama...