Farewell

35 7 0
                                    


Wajah polos itu menatap padang rumput yang terbentang luas di hadapannya. Pikirannya melayang jauh dari tempat raga itu berpijak. Matanya terpejam secara perlahan seiring hembusan angin. Dinikmatinya setiap gesekan angin yang tercipta di kulitnya. Rambut hitamnya seakan-akan menari bebas menyambut sapuan angin.

Sangat nyaman. Hal itu yang dirasakan gadis itu kini. Terbesit keinginan untuk ikut terbang bersama hembusan angin. Terbang jauh dari semua kenyataan ini. Kenyataan pahit yang sangat menyiksanya.

"Maafkan aku, Ann." lirih seorang pemuda yang tengah berdiri dihadapanku.

Aku memalingkan wajahku ke arah lain, mencoba untuk tidak menatap mata teduhnya, mata yang selalu kubangga-banggakan dulu.

"Aku mencintaimu, Ann. Aku begitu mencintaimu..,"
"Tapi aku lebih mencintai Tuhanku." sambungnya pelan.

"Aku paham." bisikku yang kemudian diiringi air mata yang mulai tumpah satu persatu. Tak dapat dipungkiri ini begitu menyakitkan, sungguh. Seperti beribu-ribu jarum menusukku secara bersamaan.

"Tapi mengapa kau begitu terlambat mengakhirinya? Aku sudah terlanjur menjatuhkan hatiku denganmu. Benar-benar menjatuhkan hati denganmu." aku mulai menangis, walaupun ku tahu itu takkan membuat keputusannya berubah.

"Maaf Ann, maaf." sesalnya yang langsung menarikku dalam pelukannya.

Dengan lemah aku meronta dalam pelukan Steven, berusaha melepaskannya. Aku benar-benar benci dengan keputusannya sekarang. Mengapa ia harus mengakhirinya ketika aku sudah menaruh seluruh hatiku padanya?

Aku menatap mata teduhnya dengan pasrah. "Bagaimana bisa aku mencari yang baik, jika aku pernah memilikimu sebagai yang terbaik?" tanyaku dengan bibir yang bergetar.

"Percayalah, Svannie. Kelak kau akan menemukan seseorang yang tepat untukmu."

Aku memalingkan wajahku menghela nafas dengan kasar. "Kau pikir akan segampang itu melupakanmu dan memulai sesuatu yang baru dengan orang lain lagi?"

Steven berusaha menatap mataku dengan penuh keyakinan. Sorot matanya seakan berusaha meyakinkanku atas apa yang ia katakan. "Akan ada seseorang yang lebih baik dariku, Ann. Takdir hanya mampu mempertemukan kita, tanpa bisa mempersatukan."

Refleks emosiku mulai naik bersatu dengan kemarahan pada takdir. Sesuatu seperti bergemuruh di dadaku. "LALU KENAPA KAU HADIR DI HIDUPKU KALAU AKHIRNYA KAU AKAN PERGI?"

"Tenanglah.." ia menatapku pedih.

"Apa yang salah ketika aku berdoa dengan mengadahkan tangan, dan kau berdoa dengan saling mengaitkan jarimu?" tanyaku sinis. Emosi mulai menguasai diriku.
Steven hanya terdiam menatapku dengan pasrah. Dapat kulihat, raut wajahnya menggambarkan ia begitu merasa menyesal membuatku seperti ini. Terbersit rasa kasihan melihatnya.
Aku memejamkan mataku. Berusaha menguatkan diriku dengan menerima keputusan yang akan merubah kehidupanku untuk selamanya. "Baiklah," ujarku tertahan.

"Aku menerima keputusanmu. Kuharap, kau mendapatkan yang lebih baik dariku, dan mencintai Tuhan yang sama denganmu." ujarku dengan pandangan kosong.

"Ann......kumohon. Ikhlaskan perpisahan kita." pintanya pelan.

Aku tersenyum tulus dan mengangguk singkat padanya dengan air mata yang masih terus mengalir.

Steven menatapku sendu. Dia menangis. "Suatu saat nanti, aku tidak akan lagi menjadi penikmat senyum itu. Berbahagialah, Svannie. Kuharap kau dapat selalu tersenyum seperti itu. Lupakan kenangan kita."

"tak ada yang mampu kulupakan tentang kita, karena sebagian dari hidupku pernah kulewati dengan tersenyum bersamamu."

Dengan spontan aku memeluk tubuhnya. Berusaha menikmati aromanya untuk yang terakhir kali. "Izinkan aku memelukmu. 5 menit saja." Ujarku lirih

"Nikmatilah, Ann. Maafkan aku jika aku tidak lagi dapat memelukmu erat ketika menangis. Sekarang, menangislah dalam pelukanku seperti yang sering kau lakukan dulu.."

Air mataku tumpah seketika membanjiri kaos hitam polosnya. Tak ada lagi kenyamanan yang selalu kudapatkan dalam rengkuhan hangatnya, melainkan rasa sesak dan enggan untuk kehilangan.
Steven melepaskan pelukannya dan menatapku dengan hangat.
"Hapus air matamu. Tolong jangan tangisi aku lagi, Svannie. Sekarang, jadilah Svannie yang selalu bahagia seperti yang kukenal." ia memegang kedua pipiku dan mengusap air mataku. Dengan bibir bergetar, aku menangkup kedua tangannya dan memejamkan mata.

"Kuharap, kita akan bertemu lagi di masa depan, Stev. Entah sebagai dua orang teman lama, atau sebagai dua orang yang ditakdirkan bersama dan berjalan memasuki rumah ibadah yang sama."

"Sampai jumpa lagi, Svannie. Aku mencintaimu."

ia mulai membalikkan punggungnya dan berjalan meninggalkanku.
Aku hanya mampu menatap nanar ke arah bayangannya yang terlihat samar dan akhirnya tak mampu lagi kutemukan.

"Aku juga mencintaimu, Steven."

Aku mulai berjalan meninggalkan hamparan padang rumput yang luas, yang menjadi saksi bagaimana aku dam Steve mengawali dan mengakhiri kisah.

Sekarang, kepergiannya meninggalkanku akan membawaku ke kehidupan yang baru tanpa dirinya. Tak ada yang mampu kulakukan, selain berharap suatu saat ketika aku bertemu dengannya, aku dan dia sudah ditakdirkan dalam satu keyakinan yang sama.

jika menurutmu ini adalah bahagiamu, maka aku akan menganggap ini kelak akan menjadi bahagiaku.

Walaupun ku tahu, awal dari setiap perpisahan takkan pernah terasa indah.

---

Hallo!

YEAY! finally, aku milih yang ini sebagai post pertamaku di akun wattpad.

Sebenarnya, ini bukan short story, bukan cerpen pula (sama aja sebenarnya, Ann).

Oke, back to topic.

Sebenarnya, ini cuman tiba-tiba terlintas di fikiranku untuk buat beginian.

Dan jeng.. jeng!

Tercipta-lah unforgettable yang hanya selesai dalam 120 menit tanpa diedit sama sekali.

Enjoy it guys!

New story-nya masih on going.
Rencana mau dipost kalau udah tamat.

see ya. Bye!

UnforgettableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang