Pilihan. Aku belum pernah mencicipinya, walaupun hanya sebesar kerikil, setetes embun di pagi hari, ataupun hanya sebutir debu. Besok adalah ulang tahunku yang kedelapan belas tahun, aku hanya menginginkan kado sederhana yang selalu aku dambakan semenjak aku mulai sekolah. Suatu hadiah yang mustahil bagi seseorang sepertiku untuk mendapatkannya. Pilihan, hanya itu. Hanya. Kurasa kata itu kurang tepat untuk hal yang lebih berharga dari berlian ataupun sebuah istana sekalipun.
Aku masih ingat ketika pertama kali melihat temanku dari The Choty dapat memilih mata pelajar apa yang akan ia ikuti. Sedangkan, kami dari The Cholety tidak dapat memilihnya, kami harus mengikuti prosedur yang sudah ditetapkan oleh pendahulu kami, para pencipta negeri ini. Setiap nama sudah ditulis dan ditentukan tugas-tugasnya. Dan tugas-tugas tersebut akan dikirim setiap awal bulan. Kami harus mengikuti peraturan tersebut kalau kau tidak ingin tiba-tiba di temukan di dalam kamar, di kamar mandi, di jalanan atau bahkan di tempat sampah dalam keadaan tidak bernafas lagi. Terkadang, ada yang lebih mengerikan dari semua itu.
Sebagai keturunan bangsawan The Cholety, kami dapat bersekolah dengan para kaum terhormat. Aku biasa memanggil masyarakat The Choty sebagai kaum terhormat.
Dalam The Cholety, kami dibedakan menjadi lima tingkatan. Tingkat pertama adalah tingkat orang-orang sepertiku, sebagai keluarga bangsawan The Furler. Tingkat kedua adalah para pengusaha The McKenzie. Tingkat ketiga para pedagang The Bridges. Tingkat keempat para petani The Bloomer. Dan terakhir tingkat kelima adalah para pekerja The Saven. Kami harus bekerja sesuai dengan yang sudah ditetapkan. Ya, seharusnya aku lebih bersyukur dari teman-temanku karena aku hidup di keluarga bangsawan yang hidupnya sudah terpenuhi. Dari kecil, aku tidak mengenal kata kerja keras.
Aku tidak terlalu mengerti mengenai kehidupan The Choty. Yang aku tahu hanyalah mereka dapat memilih apa yang mereka inginkan. Meskipun aku satu sekolah dengan beberapa anak The Choty, tapi kami tidak pernah berbicara sepatah katapun. Itu merupakan peraturan yang sudah ditetapkan juga. Bahwa kaum The Choty dan kaum The Cholety tidak boleh melakukan interaksi meskipun ada di satu tempat yang sama.
Pagi ini adalah hari Minggu. Seperti sekolah pada umumnya sekolah di sini juga libur. Seperti biasa dan itu sudah ditulis di peraturan yang kami dapatkan setiap bulannya bahwa setiap Minggu pagi aku harus melukis sesuatu untuk dikirim ke The Choty.
Aku memiliki bakat melukis yang baik. Tapi, kenapa harus dikirim ke The Choty? Aku tidak pernah tau alasannya dan tidak ingin menanyakannya kepada siapapun. Kali ini, aku melukis suatu bentuk yang memenuhi kepalaku dan secara reflek jari-jariku mengikuti perintah otakku itu. Seakan-akan bukan aku yang memerintahkannya. Aku selalu melukis apa yang sedang aku pikirkan dan rasakan. Tapi, kali ini rasanya berbeda. Seakan-akan aku berada di luar kesadaranku untuk melakukan hal tersebut. Setelah selesai, aku mengamatinya perlahan dan mendalam. Ada sesuatu yang aneh di lukisanku kali ini. Aku melihat pola itu dengan seksama dan terlintas di otakku.
"Aku seperti pernah melihat pola ini." Aku berbicara kepada diriku sendiri. "Ini seperti.." Ucapanku terputus ketika ada seseorang yang mengagetkanku dari belakang.
"Good Morning, Beccy!"
"Damn you Tom."
Itu adalah Tom, kakakku satu-satunya."What are you doing my little Beccy?" Tanyanya sambil mengacak-acak rambutku yang memang sudah berantakan.
"Stop calling me little Beccy. Aku sudah besar Tom."
"But, kamu masih tetap jadi little sisterku, Rebecca Furler."
"What ever my Big T."
"So, mana lukisan kamu. Waktu pengirimannya lima menit lagi."
"Nih." Kataku sambil memberinya lukisanku tadi. Dan aku masih memikirkan apa yang aku lukis tadi.
"Good Job, little Beccy!" Kata Tom sambil mengecup pipiku. Dia selalu melakukan hal tersebut pada saat-saat seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Choice
FantasyPilihan. Aku belum pernah mencicipinya, walaupun hanya sebesar kerikil, setetes embun di pagi hari, ataupun hanya sebutir debu. Besok adalah ulang tahunku yang kedelapan belas tahun, aku hanya menginginkan kado sederhana yang selalu aku dambakan. S...