Chapter III: Becoming One

1.6K 116 9
                                    

"Ne, Ace?"

"Hm?"

"Apa nanti malam kau akan pulang?"

"..."

"..."

"Entahlah, Luffy. Jika segala urusanku di kantor sudah selesai, aku pasti akan pulang."

.

.

Sepoi angin dingin yang menderu di kala itu... hanya akan menjadi sebuah entitas yang melambai semu tanpa memiliki percik empati terhadap manusia manapun yang hidup di dunia ini. Mereka hanya akan eksis sebagai bagian dari ciptaan Tuhan. Yang tak memiliki nyawa dan rasa. Yang tak memiliki kehendak dan tiada memiliki perasaan apapun. Mereka hanya bisa berhembus menerpa segalanya. Berhembus dan tak acuh dengan keadaan di sekeliling mereka. Terus berhembus dan selamanya seperti itu. Andai saja Luffy merupakan bagian dari entitas sepoi angin itu, tentu ia tak perlu susah-susah menjalani kehidupan yang semakin kompleks saja di dunia ini sebagai... manusia.

Ah... manusia...

Bukannya Luffy tak bersyukur karena tercipta sebagai seorang manusia. Tentu, manusia merupakan entitas sempurna yang ada di dalam jagad kehidupan ini. Mereka makhluk yang diagungkan Tuhan. Satu-satunya makhluk yang memiliki kehendak sendiri. Entitas mereka merupakan yang terbaik. Jika dibandingkan entitas mati seperti batu? Ataupun entitas tak bernalar seperti binatang.

Akan tetapi, kesempurnaan itulah yang membuat Luffy gentar. Manusia memiliki akal dan juga perasaan. Mereka dapat menalar segala apa yang terjadi di dalam kehidupan ini. Senang. Sedih. Sakit. Marah. Semua itu bisa mereka rasakan dengan baik. Mereka juga merupakan makhluk yang bermandikan ujian Tuhan. Karena itulah konsekuensi yang harus mereka terima sebagai makhluk dengan entitas paling sempurna di dunia ini. Sungguh kompleks, bukan?

Tak terkecuali saat ini.

Tak dapat dinafikkan bahwa memang ada guratan sendu yang tak kasat mata pada gestur air muka Luffy. Dadanya serasa berat karena terhujam pedihnya bulir rasa sepi. Perasaannya sebagai seorang manusia telah diuji. Kini, berdirilah ia di depan beranda mansion. Gol D. Ace sang suami hendak pergi untuk kembali berkutat pada pekerjaannya sebagai seorang bisnisman. Luffy tentu harus tertinggal sendiri lagi.

Sebenarnya tak masalah juga bagi putra Dragon itu untuk melepas kepergian suaminya. Ia bukanlah tipe orang melankolis yang mudah terbawa perasaan. Tapi setelah segenap masa yang sudah mereka lewati bersama, tentu kuatnya rasa kepedulian itu sungguh tak dapat dinampikkan lagi eksistensinya. Benang ikatan mereka semakin lekat. Bahkan, palung cinta yang mereka pendam satu sama lain itu semakin membesar di luar kesadaran mereka sendiri.

Dan Ace tahu bahwa kepergiannya akan selalu membuat bongkahan kesedihan menghujam Luffy dengan lalimnya. Prasasti takdir pun bersaksi bahwa putra Dragon itu semakin lama semakin bergantung pada dirinya. Intensitas mereka yang tak terlalu sering bisa bersama menyebabkan guratan rindu semakin terbangun, menebal menjadi sebuah dinding penyiksa yang sulit untuk diruntuhkan. Parasit kerinduan itu telah membuat hasrat mereka membuncah tak tertahankan.

Hingga buncahan hasrat yang seharusnya membawa bahagia, kini hanya berbalik membawa... luka.

"...aku janji bahwa setelah ini, akan ada waktu senggang dimana aku bisa menghabiskannya denganmu. Bersabarlah, Luffy." Ace tahu bahwa janji-janji yang ia guratkan itu hanya akan memberi euforia semu bagi Luffy. Sebuah euforia berjangka pendek yang jika tidak direalisasikan secepatnya, maka hanya akan menambah ngangahan luka di hati 'istri'nya. Dan janji itu juga bisa bertransisi menjadi sebuah pisau bermata dua. Jika ia melakukan kesalahan dengan mengingkarinya, maka... keingkaran itu hanya akan membuatnya resmi bergelar sebagai seorang pembohong ulung.

Half TrillionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang