Prolog

21 1 0
                                    


Suara bising lalu lalang dari luar rumah sakit, samar-samar menelusup masuk ke dalam ruangan rawat inap VIP yang jendelanya terbuka lebar. Didalamnya, tengah tertidur seorang gadis dengan beberapa alat bantu melekat pada tubuhnya. Dada gadis itu naik turun secara teratur seiring nafas yang berhembus dari hidungnya.

Disampingnya duduk seorang wanita paruh baya menatap sendu gadis itu dengan mata yang sembab karena terlalu banyak menangis. Di sebelah wanita itu, berdiri seorang pria dengan badan tegap, Ia menepuk-nepuk pundak wanita itu dengan pelan, berharap dapat menenangkannya.

Namun, selang beberapa menit kemudian, terjadi hal yang mengerikan bagi kereka berdua. Wanita yang sedari tadi termenung itu mulai menangis dan menjerit-jerit tak karuan. Ia lalu berlari mendekati putrinya dan dengan tak sabar menekan-nekan tombol di dekat tempat tidur pasien.

Ya, Pasien itu adalah putrinya. Dan saat itu, putrinya tiba-tiba mengejang hebat. Dadanya terangkat tinggi, matanya terbelalak namun hanya menampakkan warna putihnya. Sedangkan mulutnya terbuka lebar seperti meneriakkan sesuatu, namun tak sepatah katapun keluar dari mulutnya.

Laki-laki paruh baya yang merupakan ayah dari gadis itu juga tak kalah kalang kabut. Ketika melihat putrinya seperti itu, dan istrinya yang histeris, beliau berlari keluar mencari perawat ataupun dokter yang berada di dekat ruangannya.

Ketika dokter memasuki ruangan itu, suara nyaring mulai memenuhi ruangan. Alat pendeteksi jantung itu lebih dulu menyuarakan suaranya. Garis tipis putih di monitor yang biasanya menandakan adanya kehidupan, kini menampilkan garis naik turun yang perlahan melurus.

Sedangkan disisi lainnya..

Seorang gadis dengan berpakaian seragam putih abu-abu berjalan perlahan di trotoar yang juga dipadati banyak orang lalu lalang.

Gadis itu berjalan dengan kepala menunduk, seakan tak bersemangat bersekolah. Ditelinganya terdapat earphone yang terpasang dengan suara lagu yang berdentum, membuatnya tak mendengar suara bising disekitarnya. Walau terkadang ia merasa kesal karena beberapa orang sudah menabraknya karena terlalu terburu-buru. Bukan karena apa-apa, hanya saja mereka tidak meminta maaf sudah menabraknya dan membuat earphonenya terlepas dari telinganya.

Baru saja ia ingin memasang kembali earphonenya yang sudah ke-2 kalinya terlepas, tiba-tiba bahunya terasa ditepuk seseorang. Ia menoleh, lalu mengurungkan niatnya untuk memasang earphonenya kembali.

"Ya?" gadis itu menatap wanita tua yang baru saja menepuk pundaknya.

"Lek mlaku iku ojok disumpel kupinge, lek onok opo-opo yaopo? Seng ati-ati toh nduk. (kalo jalan jangan ditutup telinganya, kalo ada apa apa gimana? Yang hati-hati dong nak)." Tutur wanita tua itu, wajahnya menampiknya wajah khawatir.

"Oh.. Inggih buk, matur suwun (iya bu, terimakasih)." Gadis itu terseyum memaklumi.

Setelah wanita tua itu berlalu, gadis itu melepas earphonenya dan menjejalkannya kedalam saku jaket. Lalu kakinya melangkah tanpa ragu. Namun ketika dirinya sampai di penyeberangan jalan, lampu rambu pejalan kaki telah berganti warna merah. Ia melihat gelisah kearah jam tangan di tangan kirinya.

Sudah hampir terlambat. Batinnya. Seharusnya ia tak berjalan santai tadi, sampai-sampai lupa mengecek pukul berapa saat itu.

Tetapi, bahunya lagi-lagi tersenggol seseorang yang sudah berlari menerobos menyebrangi jalan raya besar dengan sembarangan, melewati mobil dan motor yang tidak melaju dengan cepat saat itu.

Sekali lagi, gadis itu melihat jarum jam di arlojinya yang tiap detiknya terus bergerak. Akhirnya dengan tekad kuat, dan memberanikan diri, gadis itu ikut berlari menerobos jalan yang terlihat sepi. Dilihatnya jarak mobil dan motor yang akan lewat masih dalam jangka jarak yang lumayan jauh darinya, sehingga mungkin ia akan sampai di seberang dengan selamat.

Walau sebelumnya ia sudah mendapat teriakan oleh beberapa orang yang berada dipinggir jalan. Bahkan, ada seseorang yang nyaris menarik tangannya ke pinggir jalan, namun sayangnya itu tidak mengenai tangannya.

Hampir sampai! Batinnya sembari terus berlari.

Tuk.

Gadis itu berhenti, lalu menoleh, mencari arah suara. Ah, earphonenya terjatuh.

Ia sebenarnya tak memperdulikan earphonenya, dia sekarang masih berada di tengah jalan raya besar dengan kondisi rambu pejalan kaki masih menyala merah.

Ia tak berniat mengambil earphonenya, sudah tak ada waktu, pikirnya.

Namun disaat ia membalikkan tubuhnya, semua sudah terlambat.

Karena seharusnya dia tak berhenti.

Tidak, Seharusnya dia tak menerobos.

Bukan, seharusnya dia tak berjalan santai tadi.

Ah seharusnya..

Angan hanya menjadi angan. Saat ini, seperti di film-film, semua terasa terkena slow motion di matanya. Tubuhnya menengang melihat mobil melaju dengan kencang ke arahnya. Setiap detik, pada saat itu terasa sangat lambat dan mengerikan.

Detik itu juga tubuhnya melayang.
Sangat tinggi.
Melewati mobil itu.

Dan...

BRUUKK!

TIINNN! TIN TIN!

"Ah! Ada yang kecelakaan!" Orang-orang berlari mengerumuni gadis yang telah tertabrak itu. Salah seorang yang datang mengguncang tubuhnya.

"Nak? Kamu dengar suara saya? Sadarlah!" Teriaknya. Namun, lebih banyak orang yang hanya tertarik melihatnya dengan tatapan prihatin.

Dan berbagai sahutan datang silih berganti hingga digantikan suara sirine yang beberapa menit kemudian segera datang.

⌚⌚⌚

Mulai saat itu kedua gadis ini dalam keadaan diambang kematian. Yang kemudian sebuah keajaiban datang, seakan memberikan mereka kesempatan kedua.

Sayangnya, saat mereka terbangun, mereka tidak lagi di tubuh yang sama dan tidak lagi berada di kehidupan yang sama.

Re (la) raTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang