Aku berjalan gontai menyusuri lorong apartemen. Tubuh dan pikiranku benar-benar lelah hari ini. Sekalipun tadi aku sudah ke tea shop tapi tetap saja beban itu masih ada.
Langkahku terhenti kala mendapati seseorang berdiri di depan pintu.
"Ngapain kamu disitu?" kataku dengan nada ketus.
Aku sudah muak bertemu dengannya. Setelah apa yang terjadi pada kita tadi pagi. Dan sekarang dia di sini? Di depan pintu apartemenku.
"Aku tarik ucapanku tadi pagi. Kamu harus menikah denganku," katanya yang sukses membuatku ingin melompat dari lantai 12 ini.
Aku tertawa sumbang sambil menggeleng-gelengkan kepalaku tak percaya. "Setan mana lagi yang merasuki kamu?"
"Rena. Aku serius."
"Kamu pikir aku bercanda?" aku bergerak mendekatinya dan membuka pintu. "Udahlah pulang sana. Aku tahu kamu juga capek," aku membuka pintu dan bergegas masuk.
Tangannya mencoba meraih lenganku. Tapi terlambat karena aku berhasil lebih dulu masuk dan menutup pintu. Membiarkan tangannya terjepit di sana.
"Tutup pintunya keras-keras. Aku tahu kamu gak akan tega."
Sialan. Dia tahu kelemahanku. Alhasil aku benar-benar menutup pintunya cukup keras. Aku hanya mendengar lenguhan keluar dari mulutnya.
"Mau kamu jepit sampai tangan aku patah. Aku gak peduli. Yang jelas kamu harus nikah sama aku titik."
"Kamu lelah Ian. Pulang sana. Mandi. Tenangin diri kamu."
"Kamu pikir aku gak sadar ngajak kamu nikah? Aku setatus persen sadar Rena. Aku cuma mau kamu nikah sama aku titik."
Kata-kata itu membuatku semakin bingung dengan cara berpikir Ian. Tadi pagi dia yang keukeuh minta aku pergi ke Surabaya. Dan sekarang dia keukeuh minta aku untuk menikah dengan dia.
"Aku pilih tawaran pertama kamu. Aku akan pergi ke Surabaya."
Dia mendesis. "Aku sudah bilang aku menarik semua perkataanku tadi pagi. Jadi sekarang kamu punya satu penawaran."
Kesabaranku mulai menipis. Aku membuka pintuku sehingga bisa menatap wajahnya. Dia masih sama. Dingin. Tak tertebak. Sangat susah untuk tahu apakah dia serius atau tidak.
"Aku gak bisa nikah sama kamu. Dan kamu tadi sendiri bilang--"
"Aku bilang aku menarik semua ucapanku tadi pagi," potongnya.
Aku menghembuskan nafas kasar. Aku tatap sekali lagi manusia es di depanku. Tanpa menjawab, aku kembali mundur dan menutup pintuku keras-keras. Tak peduli dengan gedorannya yang makin kencang di luar sana. Aku butuh istirahat.
**
Renata Kusuma : Van. Kangeeen
Renata mengirim pesan itu pukul delapan lebih. Hampir pukul sembilan. Tepat sejam setelah suara gedoran di pintunya menghilang.
Sebelum keluar, ia sempat mengintip melalui lubang kecil di pintunya. Dia juga mengirim pesan untuk bertanya pada penghuni apartemen depan, yang kebetulan temannya, untuk memastikan bahwa laki-laki itu benar-benar menghilang dari lorong.
Ia menyambar kunci mobilnya lalu bergegas menuju basement. Kepalanya keruh mirip kali Ciliwung. Sekarang ia butuh semacan dopamin yang menurutnya selalu tersedia di diri Vani. Beruntungnya dia, hingga saat ini Vani belum memiliki pasangan. Sehingga dia bebas memanggilnya kapan saja.
Rena menepikan mobilnya di sekitaran warung tenda tempat ia janjian dengan Vani. Setelah menekan tombol kunci, ia melangkah memasuki warung pinggir jalan itu.Celingak-celinguk mencari keberadaan Vani yang ternyata belum sampai juga. Padahal tempat ini sangat... sangat dekat dengan kosannya. Hanya 100 m!