Air mataku terus meleleh tanpa bisa aku tahan. Sedari tadi aku sibuk menyesali kebodohanku kemarin dan merutuki semua takdir gila ini.
"Kenapa? Kamu mau nyalahin aku?!" tanyanya saat kepalaku mendongak untuk menatapnya.
"Ya jelaslah aku nyalahin kamu-"
"Kamu yang bilang sendiri! Kamu bilang ya ke aku. Masih mau menyalahkan aku?!"potongnya.
"Memang kamu yang salah kok! Jelas-jelas kemarin aku mabuk. Seharusnya kamu bisa menahan diri-"
"Kamu yang cium aku duluan!"
"Tapi seharusnya kamu-"
"AAARRGGHH!" teriaknya sambil membanting apa saja yang ia lihat.
Kini tangannya menumbuk tembok dengan keras. Berkali-kali. Sedangkan aku yang melihatnya semakin terisak hebat. Dadaku rasanya sesak dan aliran-aliran memori kemarin malam hingga pagi ini terus memenuhi kepalaku.
Mulai dari aku yang hangover saat party kemarin. Kemudian aku bertemu dengannya yang entah setan gila dari mana yang mendorongku untuk duduk di sampingnya. Dia kemudian menatapku lekat-lekat sebelum akhirnya melumat bibirku dengan ganas dan menarikku hingga terduduk di pangkuannya.
Setelah itu, entahlah, aku hanya ingat aku berjalan ke kamar ini. Sebelum akhirnya aku menyerahkan mahkotaku kepadanya. Dan berakhir di pelukannya.
Yang membuatku dan dia tertampar bukanlah hal itu. Oke, aku memang menyesali kebodohanku yang hangover kemarin malam. Tapi ada lagi satu hal yang sama-sama membuatku dan dia menyesal. Yaitu kedatangan ibunya tadi pagi.
Aku baru tahu kalau dia itu termasuk bayi besar yang masih harus diperhatikan ibunya. Dan aku baru tahu kalau sedari kemarin ibunya mengikuti kita dari klub hingga ke hotel.
Dia datang pagi ini dengan mengetuk pintu kamar hotel tempatku dan dia menginap. Lalu masuk begitu saja hingga menemukan aku yang masih terpaku di tepi ranjang. Untung saja pakaianku sudah lengkap. Tapi sialnya dia tidak. Dia hanya mengenakan jubah mandi.
Dia menatap kami berdua dengan tajam. Matanya yang bulat besar itu terlihat sangat siap untuk melompat. Juga mulutnya yang terus menerus menggumamkan sesuatu yang tak begitu jelas.
Dari caranya bersikap aku berani bersumpah kalau dia masih mengira anak tampannya ini suci. Aku mencibir. Coba kalau setiap malam dia mengikuti anaknya, pasti dia tahu ada berapa banyak wanita yang sudah ditidurinya di berbagai kamar hotel yang berbeda.
"Kalian. Harus. Menikah."
Kalimat itu. Ya, kalimat itu yang membuat kita seperti sekarang. Saling menyalahkan satu sama lain. Hingga terus berputar dalam lingkaran yang tak berujung ini.
Kita sama-sama tahu resiko apa yang akan kita tanggung jika menikah nanti. Satu, dia bosku di kantor. Kalau sampai ada yang tahu tindakan bodoh kita, maka tamatlah segala pencitraan yang aku bangun sedemikian rupa hingga detik ini. Dan tamatlah riwayatnya dengan menyandang karma dari perbuatannya selama berkelana di dunia one night stand.
Dua, aku mengenalnya. Aku tahu seberapa bejatnya dia. Aku tahu seberapa tidak rasionalnya karakter yang dimilikinya. Dan aku tahu kemungkinan besar aku akan merusak persahabatanku dengan adiknya. Karena selama ini Dave, adiknya, mati-matian menjauhkanku dari sisi brengsek kakaknya. Tapi justru aku yang memulainya untuk mendekat.
Tiga. Jika aku menikah dengannya, aku tak begitu yakin aku bisa mengimbanginya. Seperti di ranjang. Ah tidak. Itu salah. Maksudku dalam segala hal. Aku tahu dia cukup egois kepada siapa pun. Apalagi padaku.
"Aku gak bisa nikah sama kamu."
"Kamu pikir aku bisa?"
Lihat. Kalau kesabaranku sedang tidak tinggi, mungkin saja aku sudah menyumpal mulutnya itu dengan sofa di sudut kamar. Dari sini saja aku tahu hidupku tak akan lagi waras.
Ponselku berdering. Dengan tertatih- karena pangkal pahaku yang nyeri- aku meraih ponselku. Aku mengusap lelehan air mataku begitu membaca nama yang terpampang. Walaupun aku tahu itu tak berguna sama sekali.
Aku berdeham lalu menempelkan ponselku di telinga kiri, "hai Van."
"Lo udah di rumah?"
"Udah kok."
Sebuah helaan terdengar dari seberang. "Gue jemput lo hari ini ya? Biar sekalian nanti gampang ke tea shop. Gak perlu nunggu-nunggu."
"Aduh. Gak deh Van. Hari ini gue ada undangan dari klien pas makan siang. Susah ntar kalo nebeng lo,"
"Oh gitu, ya udah deh. Tapi... lo sakit?"
"Enggak kok."
"Suara lo sengau gitu. Ya udah deh kalo gitu. Gue tutup ya. Bye!"
Vani benar-benar menutup teleponnya sebelum aku membalas. Entah karena insting atau apa, kepalaku yang licin ini mendongak dan menatapnya yang kini menatapku dengan tajam dan dingin.
Aku mendaratkan pantatku di pinggiran kasur. Tanganku terangkat untuk mengusap frustasi wajahku. Sebuah geraman lolos begitu saja dari mulutku. Aku lelah berdebat dengannya.
"Kamu. Kamu gak mungkin hamil kan?"
"Gak. Aku udah ngitung itu."
Kita kembali terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku sibuk memikirkan gimana caranya agar aku bisa lepas darinya. Dan kembali hidup tenang. Meskipun aku sedikit sangsi dengan itu. Mengingat bagaimana semangat ibunya saat mengatakan dia akan mendatangi kedua orang tuaku.
"Aku sudah menghubungi temanku di Surabaya. Kalau aku gak salah, dia butuh redaktur untuk perusahaan korannya. Jadi lebih baik kamu pulang ke sana dan kerja di sana."
"Aku yang harus pergi?"
"Ya. Pasti."
"Kamu yang harus pergi. Kamu yang harus balik ke California."
"Kenapa gitu? Lagian kurang apa sih, aku udah nyariin kamu posisi di sana. Tinggal kerja aja. Aku belikan sekalian tiket pesawatnya."
"Aku gak butuh bantuan kamu!"
"Gak usah belagu! Sok banget jadi orang. Harusnya kamu bersyukur udah aku bantu kaya gini."
"Kamu bantu-"
"Iyalah aku bantu. Aku-"
"Udah cukup! Aku capek ngomong sama kamu."
Aku beranjak ke kamar mandi. Kepalaku serasa panas dan siap meledak kalau terus berdebat dengannya.
Air dingin itu mengalir membasahi rambut dan berlanjut ke tubuhku. Aku tahu aku punya kesabaran lebih dibanding orang-orang di sekitarku. Tapi aku masih belum bisa menerima jika kenyataanya kesabaranku harus aku gunakan untuk menghadapinya.