Di ruang aula luas ini, akhirnya kelulusan siswa-siswi SMA Ilmu Sihir 22 Batavia diumumkan. Setelah tiga tahun berjibaku dengan berbagai macam tugas baik itu tulis-menulis atau praktek, hari di mana para kelas tiga angkatan 2XXX datang juga. Bak mahasiswa yang memakai jas hitam, mereka yang baru mau masuk menirunya, agak konyol memang.
Pak Tafrikin selaku kepala sekolah pun sudah naik ke atas panggung, menyampaikan pidato yang mampu membuat semua hadirin dengan hikmat menanti kapan akan selesai. Tanpa sadar, air mata menuruni pipinya, sedikit mengejutkan mengingat beliau adalah seorang yang tegas, kuat, dan selalu berolahraga ketika subuh. Tunggu, tak ada hubungannya.
Menggantikan Pak Tafrikin, kali ini guru favorit para siswa, Bu Patricia ambil bagian. Hari ini bajunya tidak ketat seperti biasa, cukup mengecewakan. Apa boleh buat, acara formal. Sambil mengucap salam, ia menata ulang kertas-kertas di tangan. Mengambil salah satu dan memegangnya di tangan kiri yang sejak tadi hanya ditaruh di pinggul.
"Nafis Ridho, dari kelas XII A. Diterima di Universitas Sihir Batavia jurusan Sihir Pertahanan."
Si empunya nama pun dengan agak grogi naik ke atas panggung, menyalami guru-guru selagi bermandikan tepuk tangan mandatory penonton. Ia masuk ke Universitas terbaik negeri ini dengan prodi bergengsi, jelas orang-orang bisa kagum.
"Selanjutnya, Aaron Roy, dari XII A. Diterima di Institut Sihir Batavia jurusan Rekayasa Rune."
Arhans naik dengan penuh bangga, berbeda dengan Andatu. Walau Institut-nya tidak lebih baik dari USB, prodi Rekayasa Rune dari ISB merupakan prodi yang sangat diperhitungkan. Prospek besar jika lulus, intinya benar-benar level tinggi. Yah, bukan karena itu juga sih, ada perbedaan kondisi mental antara kedua murid tadi, mengingat mereka hanya figuran yang dijadikan contoh, tidak usah terlalu dipikirkan.
Sebagian besar dari angkatan ini sukses masuk ke Perguruan Tinggi Negeri Sihir yang diinginkan, benar-benar suatu hal yang memuaskan baik untuk guru-guru, wali murid, maupun adik kelas yang kelak peluang masuknya jadi bertambah. Meski siswa-siswa kaya yang tak menonjol di akademik bisa masuk ke Universitas Swasta mewah, tapi kepuasan menang bersaing dengan ribuan siswa dari seluruh Indosena jelas tidak mereka rasa. Masih ada SBMPTNS kedua kok, tenang saja.
"Selanjutnya," Bu Patricia membalik halaman. Kelas XII D akan dibacakan. "Sina Bahri, dari XII D. Diterima di Akademi Kepolisian Anti-Sihir."
Hampir semua orang terkejut, bahkan Bu Patricia yang membacakannya. Sina dengan santai naik ke atas panggung, disambut tepuk tangan meriah dari segala sudut, senyuman bangga para guru, dan sebagainya. Karena kalian tau, Kepolisian Sihir adalah departemen berpengaruh besar bagi negeri ini. Mengingat kriminalitas berhubungan dengan penyalahgunaan sihir kerap terjadi dan menghantui para warga, Polisi Anti-Sihir dibentuk untuk melawan mereka.
Mereka yang sudah masuk akademinya dijamin akan bekerja di kepolisian sihir saat lulus, bahkan ditugaskan di kota-kota lain dari Batavia tanpa biaya sepeserpun. Polisi Anti-sihir ada untuk melindungi, mengayomi, dan memburu gaji harian dari dompet para pengendara motor yang lupa membawa surat izin mengemudi. Namun, sepertinya Sina yang diam-diam taat peraturan negaranya takkan melakukan perbuatan menjijikkan tadi. Ia selalu membuang sampah di tempatnya, memakai helm saat berkendara, dan membeli VCD film yang mau ditontonnya alias tak mengunduh secara ilegal di internet.
"Ibu bangga padamu, nak." Ucap Bu Patricia, menepuk pundak Sina.
"Aku juga bangga pada diriku sendiri." Balas Sina, dengan wajah setegas mungkin. Dia memang kaku dan susah bohong.
Sementara beberapa anak lain, banyak juga yang diterima di Universitas bagus, tetapi sifatnya non-sihir. Jika saja mereka murid sekolah reguler, pujian akan diterima. Sayangnya bangku SMA yang sudah mereka enyam selama enam semester adalah SMA Sihir. Bukan sembarang, SMA Sihir Calonarang Batavia. Salah satu dari enam sekolah lain yang sama kuatnya.
' "Bukan berarti, kalian yang harus satu universitas dengan manusia non-penyihir harus berkecil hati," kata Pak Vincent mencoba memberi hiburan. "Tapi ya, kalian jadi tak bisa menggunakan anugerah kalian di daerah kampus nanti, bisa-bisa di-DO, lho."
Puluhan menit kemudian, barulah mereka diperbolehkan kembali ke rumah masing-masing. Hanya saja, mungkin ini hari terakhir mereka semua ada di satu tempat yang sama, berdekatan masih dengan status setara. Aula pun dipenuhi suara, canda tawa maupun tangis gembira.
'"Meriah ketika berpisah, ya."
"Semoga saat reuni, bisa seramai ini lagi."
"Aku berharap begitu. Datang lho, kalian!!"
Yah, baru saja diwisuda sudah membahas reuni. Kasihanilah beberapa dari mereka yang mengaku antisosial padahal kesusahan bersosialisasi, atau mereka yang sahabatnya pindah ke sekolah reguler saat kelas XI. Sepi dirasa dada, yang dadanya rata tidak merasa apa-apa.
"Satria, kamu mau langsung pulang?"
Satria, yang tengah memakai helm lantas menoleh. Seseorang memanggilnya. Alih-alih perempuan cantik seperti di angan, ternyata jukir, menyodorkan tangan minta bayaran parkir.
"Bapak, kenapa tau nama saya Satria?"
"Bapak kan, bisa sihir menebak."
"Emang ada sihir kayak begitu? Bohong, ah."
"Pantesan kamu masuk jurusan non-sihir, gitu aja gak ngerti."
Anak panah transparan menembus jangtung Satria. Tidak sakit, karena memang cuma perandaian semata. Wujud dari betapa menohoknya ucapan si jukir pengguna sihir, membuat perasaan menjadi satir.
"Gak papa kok dek Satria," sang Jukir menepuk punggungnya. "jurusan Perikanan itu prospeknya besar. Dek Satria bisa jadi juragan bandeng atau mujair, untungnya gede, kok."
"Makasih motivasinya."
"Cepetan bayar parkir."
Setelah uang 3000 diberikan, Satria tancap gas. Ia menangis di jalan, meratapi nasib. Seharusnya adegan ini menyedihkan lagi mengharukan, namun penulis sedang malas mendramatisir. Di tengah perjalanan hujan deras mengguyur, meludahi Satria bertubi-tubi.
"A-aku..... Akan mencoba lagi tahun depan! Akan kubalaskan dendamku, dan dendam murid-murid yang sepertiku ini, tunggu aku SBMPTSN!!!"
***
Abdul hanya bisa diam di tempatnya. Gigi bergemelutuk nyaring, menandakan hawa dingin menusuk raga. Tak lain tak bukan, alasannya adalah mereka berada di ruangan dengan banyak AC, dan dikelilingi oleh gembong kriminal. Orang jahat. Tak perlu dikatakan lagi dengan jelas, Sina adalah korban penculikan.
"Hahahaha! Aku sudah tau akan dapat uang segini banyak nantinya."
Sang ketua, Bos Parto tergelak. Human Trafficking jelas mendatangkan keuntungan yang banyak baginya. Terpampang jelas deretan angka di layar laptopnya, harga yang akan calon pembeli pasang untuk bocah malang di sudut ruang, yang bahkan belum menyicip bangku perkuliahan.
Di zaman penuh orang sinting ini, lebih baik kalian tidak tau akan diapakan si Sina oleh si pembeli nanti. Kemungkinannya luas, tapi takkan terdengar melegakan.
"Ugh...Sial...."
Abdul hanya bisa meronta-ronta pelan. Berharap agar tali yang mengikat kedua kaki dan tangannya bisa longgar walau hanya sedikit. Ia tak mau membuat banyak pergerakan, jika salah satu anak buah Parto melihat, Abdul akan didiamkan dengan makian keras, disusul pukulan yang tak kalah deras.
"D-dareka tasukete...." Bisiknya lirih. Miris deh, pokoknya.
Selang dua detik, salah satu anak buah Bos Parto, Mahmudin masuk ruangan setelah melepas sandal Swallow-nya.
"Kang, orangnya udah dateng tuh."
"Lho, katanya jam sepuluh malam. Masih jam tujuh ini!"
"Lha terus yang gedor-gedor siapa!?"
"Ya kamu liat dulu, bego!"
"Bentar-"
"Sales obat peninggi badan, bos." Anak buah lain yang baru masuk menyahut.
Bos Parto lantas berdiri, mendekati Mahmudin yang sudah mempersiapkan mental dan kepala plontosnya untuk ditampol. 'Goblok!', seru Bos Parto, dalam hati sangat enjoy memberi hukuman seperti ini.
"Tok tok."
Bunyi, bukan, tepatnya suara orang yang menirukan pintu diketuk terdengar.
"Nah, ini baru pelangganku tercinta, huehue." Gumam Bos Parto, paham kelakuan penglarisnya.
Berjingkrak-jingkraklah ia dalam perjalanannya menuju pintu utama rumah premannya, menjemput sekoper uang yang dijanjikan di chat LI*NE.
"Cuma modal perintah ke anak buah, ngasih korban penculikan ke pelanggan, dapet duit. Pekerjaan haramku ini memang mantap jiwa~" Tuturnya gembira.
Tetapi, setelah daun pintu ditarik tak hanya si pembeli yang ada di sana. Ada empat orang lain, semua berjubah putih dengan baret hitam. Si pelanggan pasrah diborgol, memegangi koper uangnya. Keempat manusia di sekitarnya tersenyum buas, seperti predator menatap calon mangsanya.
"S-sianjeg, polisi!"
"Oh, selamat siang Pak Parto, bisa saya borgol tangannya?" Goda salah seorang polisi.
"A-ahaha, jangan pak."
"Gak boleh nolak, kamu tahu kan sakitnya ditolak?"
"Beda kasus, pak."
Tiba-tiba, dari segala perabotan rumah anak buah Bos Parto menampakkan batang hidungnya. Dengan segala senjata api di tangan masing-masing, mereka membombardir tamu tak diundang yang mampu memenjarakan mereka. Si polisi tersenyum kecut, mengaktifkan sihir barrier guna menahan muntahan timah panas yang nyaris melubangi badannya.
"Sihir pertahanan paling malas!!" Seru Parto, mengeluarkan senjata rahasia dari bawah sofa besar. Roda besi berputar. "Dengan begini, barriermu akan kudorong sampai Tanah Abang! Kamu sekalian!! Huehue."
Senjata pamungkas pun dilepaskan. Lingkaran-lingkaran metal mengerikan maju, berniat meluluh lantakkan target di depan mata. Tanpa bisa menghindar, para polisi terpaksa meredam tekanan dengan memperkuat kuda-kuda. Mereka memang terlempar, hanya saja tak jatuh. Terseret pijakannya. Agak lumayan lho, dua meter.
"Claudia! Maju!"
"Ketua, bisa gak merintahnya gak kayak di film anak-anak gitu-"
"Lain kali! Cepet maju!!"
"Dih, nyebelin!"
Claudia lantas memamerkan sihirnya, teleportasi. Dalam sekejap dirinya muncul di tepi gang, diluar barrier. Dengan kekuatan maksimal, ia mendorong gerobak sampah yang ditelantarkan. Gerobak tersebut sukses melibas roda-roda besi milik Bos Parto, sehingga ketiga rekan polisi dan tahanan mereka bisa kembali bernafas lega. Di luar barrier, di dalam pengap soalnya.
"Kampret!!"
Bos Parto pun memasang kuda-kuda, bersiap menunjukkan sihir tenaga dalam yang diturunkan dari nenek moyangnya yang seorang pelaut. Dikombinasikan dengan beladiri dari negeri Korea, Parto yakin ia mampu mengalahkan keempat utusan kepolisian di sini seorang diri. Dibantu anak buah tentunya.
Baku hantam dan baku tembak tak bisa dihindari lagi. Mereka bertarung habis-habisan. Sampai amunisi habis, tenaga habis, billing habis, terus sampai ditemukan pemenang.
"Huehue, kamu gak bisa ngindar sekarang Polisi bau kolor!" Ucap Parto, melayangkan pukulannya.
"Bangsat, bikin kesel lu calon tahanan!!" Balas si Polisi, merunduk.
"Oh, iya. Kalau beladiri kan harus nunduk hormat dulu, lupa oe." Ujar Parto, ikutan merunduk.
Setelah mereka kembali menegakkan postur tubuh, orang-orang di sekitar hilang. Kawan polisi, anak buah preman, bahkan pembeli yang jadi tawanan pun raib. Semua berlangsung cepat bak trik sulap.
"Tak bagus bertengkar karena ini."
Mata kedua insan pun mencari-cari sumber suara. Mereka sempat menoleh ke arah bulan purnama, karena biasanya karakter yang baru datang muncul membelakanginya. Ternyata bukan, atap di negara ini jarang yang datar, kan limas segiempat mayoritasnya. Dan setelah menoleh lagi, ternyata di depan pintu rumah preman.
"Orang-orang yang kalian cari ada di dalam. Sedangkan koper isi uang milyaran rupiahnya di tanganku."
"K-kamu!?"
Si polisi bungkam. Ia tahu betul kriminal independen itu. Buronan sihir baru setelah sekian lama organisasi kriminal sihir yang ada selalu bekerja di bawah tanah. Jaket lusuh kebesaran itu, rambut acak-acakan panjang itu, sepatu merah darah bergaris hitam, tak salah lagi.
"Nah, aku akan kabur, selagi kalian mencoba membuka pintu yang kukunci kuat ini. Dab harus cepat, ada bahan kimia tertentu di dalam yang sudah kucampuri katalis. Kalau tidak cepat, mereka bisa mati semua.
"Keparat kau!" si polisi pun menerjang. "Wish!"
[Cynical Detox - End]
KAMU SEDANG MEMBACA
Kepolisian Sihir
ActionJika tidak ada kami, bagaimana cara meringkus dukun-dukun itu? Penyihir, dan lain-lain?