Prang!
Suara yang sudah akrab terdengar di telingaku. Hal yang kerap terjadi dan sudah biasa di dalam rumah ini. Ya, aku tak mengucapkan 'rumahku' seperti yang biasa orang bilang. Karena ini tak layak aku sebut 'rumah.'
"Shhh, don't cry, Charlotte. I'm here." aku memeluk gadis disampingku dan berusaha menenangkannya. Ia Adikku, Charlotte.
Dengan tiba-tiba, pintu kamarku terbuka. Menampilkan seorang lelaki muda dengan perawakan tinggi dan rambut coklatnya yang tak tertata rapi. Ia Kakakku, Mark.
Ia menatap aku dan Charlotte dengan tatapan cemas.Napasnya terengah ketika menghampiri kami, Ia membawa kami berdua kedalam pelukannya. "Don't cry, everything is okay."
"Mama pergi lagi?" tanyaku cemas.
Mark mengatur napasnya dengan perlahan, "Kali ini mereka berdua pergi."
Mendengar kalimat itu aku tertunduk, meskipun salah satu dari memutuskan untuk menjernihkan pikirannya atau mengalah dengan keluar rumah. Tapi baru kali ini, keduanya pergi.
Aku bangkit berdiri sementara Mark menemani Charlotte tidur di kamarku. Aku memakai sepatu Adidas Running Shoes yang biasa aku pakai untuk lari marathon.
"Jangan pulang terlalu larut." ucap Mark sebelum aku menutup pintu kamar.
Aku mulai menuruni tangga dan melihat pecahan piring dan vas bunga yang berhamburan di lantai. Entah sudah dan akan sampai berapa lama aku harus melihat pemandangan ini.
Aku sedikit tersenyum ketika melihat motor kawasaki ninja hitam milikku yang terparkir rapi di garasi. Aku pun mengendarainya.
"Sup Nicole?" sapa Zack ketika aku mulai memasuki Bar miliknya.
"Not in the mood, Zack. Aku butuh satu botol Vodka." ucapku ketika duduk di depannya.
"Okay Okay." Ia mengangkat tangannya di udara tanda menyerah lalu mulai mengambil satu botol penuh Vodka untukku. "As you wish."
"Thanks," balasku yang langsung menenggak minuman keras ini. Sensasi terbakarnya membuat siapapun ketagihan.
"Tommorow is a first day of the month," Zack duduk di depanku dengan senyum manisnya. Siapapun pasti tak menyangka kalau ia adalah pemilik Bar terkeren di kota ini.
"Yeah, fuck it." balasku sedikit tertawa.
"Come On, Nicole. They're ready to eat your ass even tho i don't let them took your virginity." ucap Zack sedikit tertawa.
"Then, don't let them do it." aku mengangkat alisku.
"Okay, kelihatannya kamu butuh waktu. Ceritakan padaku kapan pun kau mau." Zack mengedipkan matanya padaku dan mulai mengurus pekerjaannya.
~~~
Aku memutuskan untuk pulang tidak terlalu larut malam seperti yang Mark katakan. Aku masih melihat pecahan beling yang berserakan di lantai. Ugh, selalu aku yang membereskannya.
Setelah masuk ke dalam kamar aku dan Charlotte langsung merebahkan diri ke kasur. Aku memeluk Charlotte dari belakang.
"Kenapa kau belum tidur?" bisikku perlahan agar tidak membangunkan Mark yang berada disampingnya.
"Aku baru saja dari toilet," jawab Charlotte. Aku pun mengusap lembut rambutnya sampai ia tertidur.
Setelah memastikan ia sudah benar-benar tidur aku langsung pergi ke balkon kamarku, tempat yang indah untuk melihat langit. Biasanya aku kesini untuk merokok atau minum namun entah kenapa malam ini aku hanya ingin menatap langit tanpa melakukan apapun.
"Kenapa begini Tuhan? Apa salahku? Kenapa aku terjebak di keluarga ini? Aku lelah," tanpa sadar aku mengucapkan itu sambil menangis.
Akhirnya aku mengeluarkan benda berwarna silver yang selalu aku simpan di saku celanaku. Aku mulai membuat luka yang cukup dalam di lengan kananku.
Satu sayatan, dua sayatan, ah aku lupa berapa sayatan yang sudah aku buat. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin semuanya selesai. Aku ingin hidupku selesai.
Darah mengucur deras dari tangan ku. Tetapi, aneh nya aku tak merasakan sakit. Ini lucu. Aku menyeringai.
"Buang itu, bodoh." ucap Mark membuat aku sedikit tersentak.
"Buang? Untuk apa?" aku sedikit tertawa. "Ini permainan gua. Punya gua. Gua..gua cuma ingin membunuh diri gua sendiri. Apa hubungannya sama lu? Gua udah gak di butuhin." aku duduk dengan kasar di lantai dan mulai menangis lagi.
"Cukup Nicole. Aku. Kakak. Mu." ucapnya dengan penuh penekanan. "Gua juga berhak atas diri lu. Kata siapa diri lu gak di butuhin? Gua dan Charlotte masih butuh lu."
Dia memeluk diriku, aku menangis. Air mataku mengalir semakin deras. Aku menangis? Aku lemah? Ya sangat, saat ini. Aku pecundang? Tidak.
"Stop hurting your self, Nic." ucap Mark.
"But i want to."
"Itu hal yang bodoh" ucap Mark lagi.
"Terserah lu aja. Gua bosan." aku melepaskan pelukannya dan memeluk lututku.
Tanpa mereka berdua sadari sepasang mata mengamati mereka dengan seribu pertanyaan di dalam benaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Darkest Goodbye
Teen FictionSemua orang selalu meninggalkanku, dan aku mulai terbiasa akan hal itu. Tapi kenapa yang satu ini, berat sekali rasanya. Seakan kegelapan akan kembali menyelimuti hidupku.