Silence (future canon)

4.2K 386 126
                                    

Kisah ini fiksi, tidak berhubungan dengan tokoh, kelompok, maupun kejadian dalam dunia nyata. Mohon untuk tidak mempublikasikan ulang fanfic ini di situs lain tanpa izin dari penulis.

Dislaimer: Kishimoto Masashi

Bacalah fanfic ini di waktu luang Anda. Bagi yang muslim, jangan lupa ibadahnya...

Sincerely,

bee

.

.

.


Sasuke tiba di gerbang Konoha pagi-pagi sekali. Aroma kopi dari cangkir kosong penjaga gerbang menguar lemah seperti ucapan salam sang chuunin muda. Sasuke telah memprediksi ini. Dia juga telah merencanakannya. Tiba di waktu seperti saat ini berarti menyelamatkan dirinya dari serentetan pertanyaan-pertanyaan tanpa makna dari orang-orang yang tak menyambutnya dengan keramahan yang tulus. Ini juga berarti menyelamatkan dirinya sendiri dari sambutan palsu penduduk desa.

Kedai-kedai masih tutup. Langit pagi kelabu musim gugur memayungi Sasuke yang berjalan sendirian tanpa membawa banyak barang. Hanya kelelahan dan kerinduan yang janggal. Dia pulang, tapi terasa seolah memaksakan langkahnya masuk ke dunia yang tak nyata. Rumah tak berfungsi sebagai sebuah tempatnya bersandar. Hanya sebuah tempat, sekumpulan ruangan yang berdinding, beratap, tanpa nyawa.

Sasuke menghentikan langkahnya sesaat di mulut gang. Kehancuran yang tersaji di hadapannya tak bisa dihindari. Ini adalah bagian dari sejarah kelam Uchiha. Ketika ia berjalan lagi, angin selatan bertiup melambaikan mantelnya, menghapus bayangan sosok Sasuke di masa anak-anak yang berlarian riang saat berangkat ke akademi.

Rumahnya berdiri menantinya, pasif dan terang.

Sasuke membuka pintunya, mengatakan "Aku pulang." Suaranya yang pelan hanya menjangkau hingga ruang tengah. Tak ada siapa-siapa di sana. Sasuke menghela napas, membuka alas kakinya, memaksakan diri untuk beradaptasi dengan rumah yang beraroma dingin itu.

Ia menemui istrinya yang sibuk di ruang baca, meneliti beberapa buku yang semuanya terbuka, berceceran di lantai. Dia berpenampilan selayaknya seorang wanita dengan satu anak perempuan.

"Aku pulang," kata Sasuke lagi.

Istrinya yang berkepribadian ceria menyambutnya dengan sebuah senyuman lega. Perasaan rindunya setajam duri saat ia memeluk tubuh suaminya. Satu lengan Sasuke yang lunglai ia paksakan untuk bergerak, begitu juga senyum di wajahnya yang beku saat istrinya melepas pelukannya untuk memandang wajah Sasuke.

"Ayah baru pulang?"

Sarada masih mengenakan piyamanya. Rambutnya yang lurus telah disisir rapi. Kacamatanya melorot di hidungnya yang mungil.

"Hm."

Mereka berdua terdiam. Kesunyian terasa bagai sebatang besi baja yang berat dan dingin di tengah ruangan.

"Bagaimana sekolahmu?"

"Oh, tak ada yang menarik. Kecuali si pembuat onar Boruto yang setiap saat mencari perhatian anak-anak di kelas."

"Hm."

Teh dihidangkan di meja dapur. Sasuke dipanggil istrinya dengan suara lembut tapi tergesa-gesa.

"Berapa lama Ayah akan tinggal?"

Sasuke mengamati putrinya. Kurus, tinggi, angkuh. Uchiha. Bagaimana reaksi Mikoto jika ia melihat cucunya yang seperti ini? Atau Fugaku, akankah dia mengkritik Sasuke? Seperti apa pendapat Itachi bila dia ada di sini saat ini? 'Hei, Sasuke. Itu anakmu? Dia... manis?Apa kau bisa mengendalikannya?'

UnwrittenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang