Dua

34.6K 4K 563
                                    

#Gigih Mulai Lagi#

Gigih begitu antusias. Chiko menatapnya bingung. Dulu dia tidak terlalu bersemangat seperti itu. Apalagi Gigih masih ada di kelas yang agak tinggi sekarang. Bukan berada di kelas pemula karena mama dan papa sudah memberikan pendidikan di rumah untuk Gigih. Chiko mengerjap ketika Gigih memeluknya erat. Gigih juga mengecup kedua pipinya. Chiko geli diperlakukan seperti ini, namun mama pernah bilang kalau Gigih hanya mengungkapkan rasa sayangnya pada Chiko.

"Chiko pulang sekolah?" tanyanya. Chiko mengangguk cepat.

"Gimana sekolahnya?" Chiko balas bertanya basa-basi. Gigih mengangguk semangat, lalu menarik lengan Chiko. Gigih selalu antusias ketika Chiko bertanya tentang hari-harinya. Chiko telanjur bertanya, jadi dia tidak tahu kalau pada akhirnya Gigih terlalu antusias begini. Gigih sedang menatapnya dengan wajah paling semangat.

"Gih teman banyak."

Chiko mengangguk.

"Gih suka teman."

Chiko mengangguk lagi.

"Tapi Gih suka Chiko. Teman suka. Tapi Chiko sayang."

Chiko mengerti apa maksud Gigih meski tata bahasanya membingungkan. Hanya Chiko di rumah ini yang mengerti maksud Gigih. Terkadang mama dan papa bingung dengan apa yang Gigih ucapkan, namun Chiko bisa mengerti tanpa dijelaskan lagi.

"Nanti Mas juga sayang sama mereka kalau udah biasa. Sekarang Mas temenan sama mereka, ya! Baik-baik, jangan nakal!" Chiko berpesan. Gigih mengangguk semangat, lalu mulai menempeli Chiko sekali lagi. Chiko beranjak ke kamarnya untuk ganti baju. Seperti biasa, Gigih mengekori. Terkadang anak itu membantu Chiko membuka kancing bajunya.

Ketika Chiko berkata, "Aku bisa buka sendiri, Mas!" namun Gigih menolak. Gigih memaksa untuk membukakan kancing baju Chiko. Ketika Chiko lapor pada mama, mama mengatakan biar saja. Gigih juga harus belajar membuka kancing baju. Chiko meradang. Setahunya tunagrahita ringan itu hanya mengalami masalah dalam mental, pemikiran, dan juga bahasanya saja. Bukan dengan kelakukan seperti ini. Gigih tidak mengalami cacat fisik yang mengharuskannya latihan begitu. Apa, ya namanya? Ah, tunadaksa!

Buktinya Gigih bisa makan sendiri. Bisa membersihkan kamar juga. Melipat selimut mereka sesekali. Bahkan ketika ngompol, Gigih juga bisa menjemur kasur ringan mereka ke luar. Meminta bantuan Chiko untuk mengangkat kasur itu.

"Mas, aku banyak PR sekarang." Chiko mengeluh. Gigih menatap wajah Chiko. Setiap kali Chiko mengatakan PR, Gigih selalu memasang ekspresi serupa. Gigih tidak suka dengan PR. Gigih benci ketika Chiko punya PR.

Karena itu artinya Chiko akan mengabaikannya seharian.

"Gih benci Chiko PR!" teriaknya marah.

"Chiko harus ngerjain itu, Mas." Chiko mencoba memberi pengertian. Gigih menggeleng kencang, tidak terima.

"Gih benci PR!"

"Aku harus ngerjain PR, Mas. Kalau aku nggak ngerjain, aku bisa dihukum."

"Hukum?"

"Iya. Disuruh berdiri panas-panas, lalu pingsan."

"Chiko? Sakit?" tanya Gigih polos. Chiko mengangguk.

"Makanya, kalau Mas nggak mau Chiko sakit, Mas nggak boleh ganggu Chiko. Chiko mau ngerjain PR."

Gigih mengerjap sekali lagi.

"Gih nggak suka Chiko sakit. Gih benci Chiko PR! Gih sayang Chiko!"

Chiko mengusap wajahnya kasar. Sekarang ini Gigih sedang mengganggu seperti biasa. Chiko sudah terbiasa dengan teriakan Gigih yang protes seperti itu, namun dia tidak bisa melakukan apa pun. Chiko mengambil bukunya, duduk di depan meja belajarnya, lalu mulai mengerjakan PR. Gigih merengut dan duduk di belakang Chiko. Dia diam di sana, menatap Chiko dengan wajah tak rela.

Chiko... Let's Play!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang