Mistake

5.9K 154 0
                                    

Aku menjanjikan Elena keseluruhan ceritaku secara lengkap. Dengan satu syarat, untuk meninggalkanku sendiri untuk bicara pada Rudolf. Kulihat Elena kesal dengan Ayesha yang menamparku tadi. Namun aku sudah berhasil menenangkannya walaupun ia masih kesal. Kemudian aku bisa masuk ruang kesehatan sendiri.

Aku melihat Rudolf sedang bersandar hampir tidak berdaya di ruang kesehatan. Di pelipisnya ada perban, tangannya memegang tissue yang penuh darah yang keluar dari hidung. Rudolf hanya menunduk. 

"Dolf," Panggilku lembut. Ia menatap kehadiranku dengan kaget.

"Kok tahu gue ada disini?" Tanya Rudolf gugup.

"Harusnya gue yang tanya kenapa lo ada disini?"

"Tadi... tadi gue jatoh kepeleset pas main basket." Jawabnya berbohong. 

"Iya, jatoh apa karena jatoh cinta sama cewek orang?" Tanyaku lalu duduk disisi tempat tidurnya.

"Lo tau gue disini dari Ayesha ya?"

"Iya, cewek lo itu baik banget loh." Kataku.

"Gue udah putus sama Yesha, dia emang baik tapi gue yang brengsek," Katanya menatap keluar.

"Terus gimana ceritanya lo bisa dipukulin Marcello?" Tanyaku.

"Eh?"

"Gak mau bilang?"

"Enggak, bukan gak mau, tapi..."

"Gue udah putus sama Marcello, akhirnya!" Kataku. Aku melihat ekspresi di wajah Rudolf yang sedang kacau, mulutnya ternganga dan tampak konyol.

"Kok bisa? Gue kira dia... gue..." Ia tampak bingung mencari kata-kata.

"Gue dari awal udah gak pernah sayang sama Marcello. Dia membuat gue memilih dia dengan terpaksa,"

"Marlene..."

"Tapi, saat gue gak bisa sama lo, terus lo sama Ayesha, gue sangat sadar, kalo lo juga gak pernah sayang sama gue. Lo cuma mau mainin... gue, kan?!" Ucapku secara perlahan.

Rudolf menatapku nanar. Wajah campuran Jepang yang tegas itu menatap mataku sangat dalam, ia mungkin sedang mengeluh diam-diam terhadap rasa sakit sehabis di pukuli geng Marcello. Tapi, aku melihat kepedihan dan... kebenaran. Kebenaran dalam matanya yang menyakiti hatiku.

Perih, seketika meradang di dalam hatiku. Aku hanya ingin berlari, tidak ingin mendengar apapun dari Rudolf. Namun, aku sangat pengecut jika kemudian aku hanya lari dan pergi bergitu saja tanpa mendengar penjelasannya. Mungkin sekarang ia bingung harus berkata apa, tapi aku sudah tahu bahwa pemikiranku ini benar.

"Betul itu, Dolf?" Tanya ku sekali lagi. Ia hanya mematung, menatapku. Dalam diam yang tidak pernah aku mengerti. Perlahan mataku dipenuhi kaca, perasaan yang dihujam tombak. Aku tidak pernah tahu bagaimana perasaan Rudolf padaku.

Dengan tanpa sepatah katapun, aku melangkahkan kaki keluar dari ruangan si brengsek ini. Dalam hatiku aku sedikit berterimakasih Marcello telah memukulnya. Sayup-sayup ia menyebut namaku. Tapi aku tidak peduli lagi. Hari ini terlalu banyak air mata. 

Selepas aku keluar dari ruang kesehatan, aku menemukan Elshaphire dan Elena menatapku. Tanpa banyak bertanya mereka berdua memelukku dengan erat. Sangat erat sampai aku tidak mampu bernapas lagi. Aku tidak bicara, namun kedua sahabatku itu mengerti, mengerti perasaanku sejelas siang hari.

Dalam hatiku yang terdalam, satu hal yang aku tahu, aku tidak pantas ada disini.

***

Aku memutuskan untuk pergi dari kota ini. Mengajukan surat pada bagian absensi mahasiswa yang bersangkutan untuk pergi selama dua minggu. Kukatakan di surat izinku, bahwa ini keperluan sangat mendesak. Dengan sedikit licik, aku sampai memalsukan tanda tangan orangtuaku. Karena aku anak yang baik dan dosen-dosenpun menyukaiku, akhirnya aku bisa juga pergi selama dua minggu.

Love (That Will Never) HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang