Aku merasakan kehangatanya menyentuh bibir. Terasa lumer dalam tiap sudut bibirku. Pagutan demi pagutannya kian membuai. Suara kecupan bagai gemerincing lonceng angin. Kami kehilangan akal untuk waktu yang cukup lama. Bahkan kehangatan senja yang telah berganti dengan dinginnya malam pun belum menyadarkan kami. Sampai bulan melengkungkan senyuman malu kepada kami. Sikap kami seakan membuat sang Ratu malam enggan menampakan wujudnya di langit yang mulai merubah ungu gelap.
Kupasrahkan bibirku kepada dia yang memberikan kelembutan. Hanya keindahan yang membuatku terlena. Pikiranku telah cukup beku untuk mengelak perlakuannya yang teramat manis. Tidak bisa aku membantah, mengingat waktu yang telah kami lalui bersama selama bertahun silam, tak akan lagi aku melarikan diri, dan memilih mengiyakan segala inginnya terhadap diriku. Lelaki yang memagut bibir berlianku adalah Ariel, dan mari kita putar ulang beberapa jam sebelum dia mencumbuku dengan segala daya pikatnya.
"Aku tahu ini gila, Rel, tapi aku tak sanggup lagi mengelak segala kenyataan yang telah hadir di antara kita." Sesaat dia diam sembari mengusap wajahnya yang nyaris pucat, ada peluh meleleh di pelipisnya. Wajah kalemnya perlahan berubah tegas, hampir-hampir rahang runcingnya yang menegas tampak dari balik sisi kepalan tangan yang menutup bibir tebalnya. "Aku miliknya dan kamu tahu itu, tapi kamulah gadis yang membuka hatiku untuk pertama kalinya. Terlepas ini karena takdir atau bukan." Tangan berotot Ariel mulai turun. Aku sanggup melihat bagaimana sorot matanya memandang lekat kepadaku.
Gemerisik angin yang mengembus di udara membawa suasana hangat di antara kami, namun kehangatannya tak lantas merubah kecanggungan yang sanggup membekukan percakapan kami.
Sementara Ariel terdiam merangkai kata-katanya, aku memilih menyimak dan mengamati wajah rupawannya. Kutengadahkan kepala dan hanya berfokus pada dia dan kata-katanya. Dia berdiri beberapa jengkal dari hadapanku. Di pelataran kampus tempat kami berpijak, kutemukan keresahan di wajah Ariel. Aku mengerti kenapa ekspresi itu terbentuk.
"Kamu pun sadar hubungan ini bermula dari mana," katanya, lagi dengan suara yang terdengar ragu bercampur gamang.
Kebimbangan tergambar jelas pada wajah Ariel. Sesaat kudapati kepalan tangannya kembali menekan mulut, wajahnya makin tegang dengan gerak bola mata cokelat terang yang tekesan resah. Sesekali dia membuang muka dengan tatapan mata gamang.
Kami dipertemukan dengan takdir dan jalan hidup yang mirip. Benar kata lelaki dengan postur tinggi tegap dan bertubuh proposional itu. Darahnya ada dalam aliran darahku. Memang kejadiannya telah bertahun silam, dan seolah menjadi bagian dari kebetulan serta kenaifaan yang tak bisa dinafikan.
Ariel menyumbangkan darahnya untukku, dengan cuma-cuma. Tanpa alasan yang tepat kami mulai terhubung. Kejadian itu telah berlalu lima tahun silam. Terjadi ketika aku duduk di bangku SMA tingkat pertama. Aku tidak tahu bagaimana pemikiran laki-laki belia itu dapat melakukan hal yang tak mungkin bagi remaja seusianya. Entahlah, alasan yang diutarakan Ariel terlalu klise.
"Aku temanmu sedari SD," tuturnya suatu ketika kala aku menanyakan alasan dia menolongku sekaligus mendonorkan darah, usai aku sadar dari kecelakaan yang menimpaku. Sebelum akhirnya terbaring di salah satu ruang rawat inap rumah sakit.
"Kita sama-sama korban perceraian," ujarnya sekali lagi. "Dan kita sama-sama anak bungsu, yang menjadi tumpuan terakhir, atas harapan dan cita-cita orangtua kita. Kita memiliki banyak kesamaan." Ariel masih duduk santai dengan wajah lempeng di samping ranjang tempatku berbaring.
Sebenarnya kami memang berasal dari salah satu SMA negeri yang sama di Jakarta. Kali ini pun kami kembali bersama menempuh bangku kuliah di salah satu universitas negeri di Jakarta, tepatnya daerah Rawamangun, Jakarta Timur. Yang kutahu Ariel adalah tetanggaku ketika kami masih duduk di sekolah dasar, lantas sebelum lulus, dia dan keluarga memutuskan hijrah ke Kalimantan. Semuanya cukup rumit bila harus dijelaskan secara runtut. Sejak kecelakaan yang menimpaku, kami secara tidak sengaja saling menjaga satu sama lain, dan berusaha untuk membahagiakan masing-masing, tanpa peduli perasaan sendiri. Termasuk aku yang rela melepas Ariel demi sahabat perempuanku. Dan lagi Ariel pun menyambut perasaan sahabatku. Olehnya perlahan aku mundur atas perasaan cinta terhadap Ariel. Aku hanya berharap kebahagiaan untuk lelaki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
KALA CINTA MENGGODA
Short Story"Aku tahu kamu tak baik-baik saja, Aurel. Berhenti membebani diri, hatimu juga butuh diperhatikan," katanya lembut, sungguh lembut seperti ada hasrat ingin memilikiku. Atau itu hanya imajinasiku, karena terlalu hilang kendali atas perasaan diri terh...