PROLOG

524 35 15
                                    

° Me, my family, and my problem °

||||||||||||


"Arga, Zifanya. Besok, Mama mau ke rumah eyang. Papa udah disana duluan. Kalian gak apa 'kan kalau dirumah berdua aja?" tanya Mama sambil menatap kami berdua.

"Gak apa kok," balas kak Arga yang sudah lepas kontak dengan ponselnya. Dan aku hanya mengangguk meng-iya-kan.

"Ya udah, Mama ada urusan penting. Mama berangkat dulu ya," kata Mama dan langsung berlalu begitu saja.

"Gue ke atas dulu. Ada hal penting yang harus gue kerjain," kata kak Arga dan langsung beranjak pergi. Aku mengangguk, dan dia langsung melesat ke kamarnya.

Hmm.

Inilah kehidupanku. Aku udah terbiasa dengan kesibukan kedua orang tuaku. Mama memang sibuk, dia seorang designer profesional. Kalau Papa, dia itu ilmuwan. Dia sering melakukan eksperimen atau penelitian. Seperti sekarang, Papa sedang ada penelitian di daerah dekat rumah eyang. Kalau kak Arga? Dia itu nyebelin, selalu ganggu kalau dirumah. Apalagi kalau ada temannya. Berisiknya ngalah-ngalahin teriakan rocker. Tapi--dia kakak terbaik yang pernah ada. Dia penyayang.

Aku itu--sulit bersosialisasi. Kalau berteman dan ngerasa gak cocok, aku langsung menghindar. Aku juga gak suka tegur sapa. Ngomong pun, sama sebagian orang aja. Itu yang menjadikan aku gak punya teman dekat sampai sekarang. Belajar dari masa lalu. Iya. Masa lalu yang sangat pahit. Di bodohi oleh sahabat sendiri. Di tinggal oleh sahabat sendiri. Dan bodohnya, dulu aku selalu berharap agar mereka berubah. Dan selalu berusaha untuk sabar. Ah. Lupakan.

Okelah. Bagaimana pun, nanti kalian juga akan tau. Dulu aku punya 2 sahabat. Mila dan Vico. Kita memiliki perbedaan. Aku? Kata mereka, aku yang paling pintar. Mila? Dia yang paling fashion, dia cantik. Vico? Dia yang paling suka bercanda. Hingga suatu hari, Vico menyatakan bahwa dia menyukaiku. Dan Mila, dia ternyata suka Vico. Dan aku, yang memang hanya menganggap Vico tak lebih dari sahabat, menolaknya. Sejak saat itu, Vico mulai menjauh. Dan Mila, lama-lama aku sadar, dia itu hanya datang kalau ada butuhnya. Tapi aku masih sabar. Hingga dimana dia membohongi ku. Dan itu, terjadi karena ternyata dia iri dengan kepintaran ku. Sejak saat itu juga, aku merasakan penghianatan. Dan sejak saat itu juga, aku mulai menutup diri untuk tidak bersosialisasi. Jangan bilang, aku terlalu berlebihan. Semua orang emang punya tanggapan yang berbeda-beda. Dan terserah kalian mau bilang aku apa.

Menurutku, buku adalah sahabat yang paling setia. Jadi--aku lebih suka baca buku, daripada bersosialisasi.

Masalah sekolah, aku baru kelas 10 SMA. Udah jalan semester dua. Sekarang lagi liburan. Hmm. Membosankan jika liburan. Aku lebih suka disekolah. Bukan karena dirumah sendirian, atau sepi, atau gak ada teman. Tapi karena aku selalu rindu pelajaran sekolah. Kalian pasti nganggep aku pintar-lah, inilah, itulah. Tapi--aku gak pintar-pintar banget kok. Biasa. Nilaiku biasanya diantara 94-100. Pernah juga sih--dapat 100. Tapi jarang. Dan kemarin, aku dapat ranking satu. Aku bersyukur, tapi aku tetap ingat. Di atas langit masih ada langit.

Soal cinta. Aku belum pernah jatuh cinta. Tapi--kalau cuma suka, aku pernah kok. Itu udah lama, waktu SD. Namanya Zidan. Dan dia sahabatnya Vico. Tapi gak ada yang tau kalau aku suka Zidan. Sebenarnya itu cuman kagum-kagum biasa. Yah, namanya juga masih kecil. Dan untuk sekarang, aku masih mau fokus pelajaran. Soal cinta, itu nanti aja. Lagian kalo udah jodoh, gak bakal kemana. Ingat 'JOHAN': jodoh di tangan Tuhan.

****

"Dek," panggil kak Arga.

Aku menghentikan kegiatanku. Aku mendengus kesal karena kegiatanku terganggu. Kemudian aku menoleh sambil menaikkan sebelah alisku.

"Nanti, teman gue mau kesini. Lo yang buka'in pintu ya. Soalnya gue ada urusan bentar sama seseorang," pintanya.


Hah? Temannya mau main kerumah? Tapi dia ada urusan lain?

Aku menyipitkan mata. "Jangan bilang kalau urusan lain itu kak Gea."

"Emang. Gue lupa kalau ada janji sama Gea," katanya sambil tersenyum.


"Dasar, sama pacar aja lupa. Ini baru pacaran, gimana kalau udah nikah? Jangan sampai sama istri juga lupa," gumamku, yang ku yakin kalau dia mendengarnya.

"Kalo sama istri, ya gak bakal dek. Lagian juga--ini masih pacaran. Lagian 'kan belum ada komitmen untuk ke jenjang yang lebih serius. Gue masih SMA juga," elaknya. Dan aku hanya mengangkat bahu sambil mendengus pasrah.

"Terserah."

"Eh, dek. Gue lupa. Nih," kata kak Arga yang tiba-tiba menaruh sebuah bunga di atas buku bacaan ku.

Aku mengernyit bingung. "Kakak ngapain ngasih aku bunga? Tumben banget. Kesambet apaan?"

"Itu bunga gue temuin di depan pintu. Tadi ada yang mencet bel rumah, tapi waktu gue keluar gak ada siapa-siapa. Dan sorry ya, sekalipun gue kesambet, gue gak bakal ngasih bunga ke lo," jelasnya.

Aku pun mengambil bunga itu. Ada notes kecil. Aku pun penasaran dan langsung membukanya.

Hy Zifanya!
Semoga kamu suka sama bunga ini. Maaf, aku terlalu pengecut untuk ngasih langsung.

Mr.D...
167

Ini. Bunga ke 167 yang udah seseorang kirim. Ya, 167 disitu maksudnya itu bunga ke 167. Aneh. Siapa sih--orangnya? Mr.D...? Buat apa dia ngasih aku bunga? Iya kalau bisa dimakan, dibaca. Tapi ini?

"Sumpah. Perasaan lo sering dapat bunga. Dari siapa sih? Setahu gue, lo belum punya pacar. Lo punya secret admirer?" tanya kakakku yang tiba-tiba merebut bunga itu dari genggamanku.

"Mana aku tau. Kalau aku punya pun, aku juga gak bakal tau. Namanya aja secret admirer," jelasku, dan kembali ke kegiatan semula.

"Lo ada teman dekat? Cowok?" tanyanya lagi.

"Gak ada," jawabku dengan pandangan yang masih fokus pada buku.

"Kalo gitu, bunganya buat gue aja. Gue kasih ke Gea," kata kakakku.

"Dasar, gak bermodal," sindirku.


"Jaman sekarang itu, modal nomor 2. Yang penting 'kan cintanya," sahut kakakku.

"Terserah."

"Lo udah punya teman?" tanyanya secara tiba-tiba.

Aku langsung menghentikan kegiatan membaca. Tiba-tiba mood-ku langsung hilang. Aku terdiam.

"Lo jangan kayak gini terus. Ada saatnya, lo butuh teman. Entah untuk sekedar berbagi cerita, atau saling mensuport."

Aku menoleh, menatapnya. Begitu pun sebaliknya.


"Lo jangan egois. Lupain yang dulu. Lo harus cari teman lagi,"

Setelah mengatakan itu, dia tersenyum. Dan langsung berlalu begitu saja. Kemudian, aku mendengar suara pintu terbuka dan tertutup lagi. Itu artinya, dia pergi.

Aku masih mencerna ucapannya tadi. Lupain masa lalu? Ya. Tapi--untuk cari teman dekat lagi, sahabat lagi. Itu terlalu sulit untukku.

****

Hallo guys...
Aku disini buat cerita baru. Semoga ceritanya dapat menghibur. Dan semoga aku bisa selesai-in cerita ini. Jangan lupa vote dan sarannya ya...

Btw--beberapa dari cerita ini diambil dari kisah nyata author sendiri.

Wina_

26 Desember 2016

This Is MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang