"I believe she even can make the evilest devil cry."
"Harry!"
Harry mengalihkan perhatiannya dari jajaran huruf-huruf penyusun esai yang harus dikumpulkan dua hari lagi ketika namanya dipanggil Mama. Pemuda kuliahan itu menghembuskan napas saat mengangkat badannya yang bongsor untuk berdiri dan segera menemui ibunya. Harry mendapati ibunya sedang menyetrika baju di ruang cuci. "Kenapa, Ma?"
"Tolong jemput adikmu di sekolah, ya."
Wajah Harry kusut seketika. Menjemput adiknya yang bernama Marry Styles sama saja dengan menjemput maut.
"Yah, kenapa aku harus menjemput anak setan itu, sih," gumam Harry otomatis.
Mama yang berdiri masih di jarak pendengaran langsung melotot. "Jadi maksudmu Mama ini setan, begitu?! Dasar anak kurang ajar!" Tangan Mama yang tadinya memegang setrika langusung berganti memegang telinga kanan Harry dan memuntirnya kuat-kuat. "Bawa adikmu pulang atau tidur di kandang Ming!"
"Ampunn, Maaa."
~
Sepanjang perjalanan Harry mendumel, sesekali menggosok telinga sebelah kanan yang masih memerah dan senut-senut rasanya. Harry merasa tidak salah menyebut Marry anak setan. Hal itu bukan berarti ibunya lah yang setan, tapi Harry hanya tidak yakin kalau Marry juga anak Mama—bahkan anak manusia. Tetapi dengan adanya akte kelahiran dan wajah mereka yang—sangat Harry sesali—mirip, Harry harus menerima sebuah fakta bahwa Marry Darwin Styles adalah adiknya.
Sekolah Marry yang menjadi tujuan Harry sekarang adalah sekolahnya dulu. SMP itu sebenarnya tidak jauh dari rumah. Harry dulu suka naik sepeda ke sekolah. Berbeda dengan Marry yang diantar-jemput atau naik bus sekolah. Ada alasan khusus kenapa anak itu tidak naik sepeda.
Harry sampai di depan gedung sekolah Marry. Dengan segera pemuda kuliahan itu keluar dan berdiri di samping mobilnya. Ya, Harry harus berdiri bagaikan bodyguard supaya adiknya mau keluar dari gedung itu, jika tidak dia bisa menunggu sampai kiamat.
Tidak sampai semenit, Harry sudah bisa melihat Marry belari menghampirinya dengan meneriaki nama kakaknya bagaikan suku Indian. Harry melotot saat melihatnya, lebih tepatnya melihat kakinya. Kaki adiknya terbungkus Nike Lunar warna merah edisi terbatas. Dia sangat mengenali sepatu itu karena—
ITU SEPATUNYA!
Sepatu hasil jerih payahnya menabung dari gajinya siaran di stasiun radio, yang dia yakin—sebelum melihat sepatu itu di kaki Marry—masih tersimpan rapi terbungkus plastik di kotak sepatu di dalam lemari bajunya yang selalu terkunci. Mempunyai adik berkelakuan liar membuat Harry harus ekstra waspada, jadi mengunci lemari dan pintu kamar sudah menjadi keharusan. Namun metode Harry sama sekali tidak berhasil, sepatunya telah berada di tangan—atau di kaki—adiknya yang ajaib itu.
Dan satu prinsip idealis yang Marry anut sampai mati : benda yang sudah dipakainya sudah otomatis dan sah menjadi milkinya.
"Mar, itukan sepatu kakak, kenapa kau memakainya?"
Siswa kelas dua SMP itu menunduk melihat kakinya sambil tersenyum tipis. "Aku suka, sih. Kakak menaruhnya dengan sangat hati-hati dan di lemari yang dikunci. Itu artinya kakak tidak mau aku menemukannya, bukan?"
"Benar sekali, anak pintar." Harry meringis pedih. "Itulah kenapa kakak menaruhnya dengan sangat hati-hati dan rahaaassiaaa—"
"Rahasia artinya kejutan dan kejutan artinya ulangtahun," potong Marry cepat, tangannya terlipat di depan dada. "Aku ingat kalau ulangtahunku tinggal 6 bulan lagi jadi ini pasti hadiah untukku dari kakak."
Harry sangat mengutuk logika aneh yang adiknya buat.
"Kakak rasa 6 bulan sangat terlalu awal untuk mempersiapkan kado ulang tahun—"
"Aku kan orang yang spesial, kak, aku pantas untuk mendapatkan persiapan enam bulan lebih awal."
Harry mengatupkan mulutnya sebelum bebicara lagi. "Tapi ukurannya sepatunya terlalu besar untukmu, Marry, itu ukuran untuk—"
"untukku pada lima tahun lagi? Kakak sangat berpikiran jauh dan perhatian ternyata," Marry terseyum sangat lebar sekarang, benar-benar bahagia. "Ternyata ini kado ulang tahun untukku lima tahun lagi."
Harry memijit keningnya. Rasanya ingin dilindas truk saja.
"Jadi kakak mempersiapkan kado ulang tahun apa untukku tahun ini?" tanya Marry dengan antusisas mengalihkan pembicaraan. "Aku tidak mau kado seperti tempat pensil jelek yang kakak beri tahun lalu. Tempat pensil itu lebih cocok untuk jadi toilet Ming."
Kakakmempersiapkan peti mati untuk diri sendiri, adik tersayang.
-----------
Note : Cerita Harry and Marry sebenarnya udah ada di draft lama banget. Entahlah, lagi ngebayangin aja Harry jadi anak kuliahan yang punya adek perempuan titisan setan hahaha. Mungkin kalo ada waktu senggang Harry and Marry bakal muncul lagi :)
YOU ARE READING
Just a Little Piece of Paper (Random Short-stories)
RandomDengan secarik kertas kau bisa menuliskan apa saja Dengan secarik kertas kau bisa menggambarkan apa saja Dengan secarik kertas kau bisa menjelaskan apapun hanya dengan mengerakkan tangan lihaimu yang memegang alat tulis Tapi pertanyaan s...