TIDAK SEMBARANG KOPI

37 1 1
                                    

"Kopi bukan sekedar tentang begadang, agar tidak ngantuk, untuk ronda atau nonton bola. Kopi adalah jati diri laki-laki." Ucap Ayah suatu pagi. Aku menyimaknya takzim.

Ayah bercerita bahwa kopi hanya tumbuh di daerah tertentu, pada suhu tertentu, degan kualitas tanah tertentu pula. Proses pembuatannya pun tidak rumit, namun harus pas, harus benar-benar pas. Orang seperti Ayah tidak minum kopi untuk sebuah sensasi kenikmatan. Kopi menentukan hari-harinya. Anehnya, ayah tidak sering minum kopi. Terkadang hanya sekali dalam seminggu. Kopi-kopi yang ia singgahi cukup ia cium untuk kemudian ditinggalkan. Ada beberapa jenis kopi yang ia hirup wanginya berkali-kali. "Sekedar memastikan bahwa hidungnya masih berfungsi sangat normal." ucapnya.

Ada juga kopi yang ia lempar jauh. "Ia harus melakukannya itu." tuturnya padaku suatu sore. Ia bertanggungjawab atas kopi yang tidak layak dekat dengan dirinya. Mungkin saja dia bisa dihidangkan dan diminum oleh orang lain, dan juga akan membuat orang itu menggeliat dan merasa nikmat. "Tapi tidak untuk jati diri !" Ucapnya.

Beberapa jenis yang lain ia simpan baik-baik, perlahan sekali seperti menyimpan keramik purbakala. Ada juga yang ia harus sembunyikan sambil menunjukkan wajah panik. Menyentuhnya dengan sangat antusias seperti butiran permata "Jangan sampai ada orang lain menemukan jenis yang satu ini. Belum saatnya !" Ucapnya.

Hidup Ayah sangat disiplin. Waktu adalah perjanjian, katanya. "Sekali kau ingkari waktumu, selamanya kau akan tidak dihargai waktu. Dan itu artinya, mati. Kau bernyawa, tapi tidak merasakan kehidupan, itulah kematian yang sia-sia."

Satu hal yang ia ajarkan padaku tentang kopi adalah pagi. "Kopilah yang menghidupkan pagi. Bukan sebaliknya. Matahari terbit, langit terbuka, orang-orang bergegas, pada hakikatnya karena butiran kopi, bukan yang lain. Aku mengernyitkan kening dan berpikir tajam."

Kalau aku mengerti bagian ini maka, Ayah anggap aku sudah cukup untuk belajar memaknai tentang hidup. Dan inilah petualanganku dengan ayah. Ayah telah tiada. Dan pesan terakhirnya adalah menyempurnakan kopi pagi untuk ayah.

"Jika perasaanmu sudah sangat tenang saat mencium aromanya, gemetar saat memegangnya, terbang saat menyeruputnya, dan terpejam saat tegukan pertama tanpa kau minta, itulah kopi pagi untuk Ayah." Kalimat yang cukup menghantui langkah dan hariku.

KOPI PAGI UNTUK AYAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang