DIALAH AYAH!

6 1 1
                                    

Tidak banyak yang tahu tentang kebiasaan ayah selain Bi Mimin, tetangga jauh yang sering berpapasan dengan ayah dipagi buta saat dirinya pergi ke pasar dengan keranjang dagangan di tangannya. Awalnya bi Mimin hanya melempar sapaan sekenanya " Pagi, Pa Teja!", "Sendirian aja, Pak?" "Nyicip gorengannya, Pak Teja?" "Dari mana Pak Teja, pagi-pagi gini?", " Habis ngopi dimana, Pa Teja?" Yang sebenarnya dia sendiri tidak penting dengan jawabannya. Demikian juga dengan Ayah, ia sangat tidak peduli dengan sapaan Bi Mimin. Bahkan, siapapun yang menyapanya ia cenderung abai. Melempar senyum dan sudah selesai.

Pernah aku ditegur ibu-ibu saat mereka mengerumuni tukang sayar. "Wi, bilang ke ayahmu itu agar lirik kiri-kanan kalau jalan. Hehe....apalagi pas ada kita-kita, ibu-ibu yang haus sapaan," lalu cekikikan setengah berbisik ke temannya. Aku hanya jawab "Baiklah akan saya sampaikan ke ayah nanti."

"Jangan nanti-nanti, Wi. Sekarang,"

"Baiklah, baiklah." Aku tersenyum, entah karena apa. Walau aku sekilas menangkap bahwa mereka adalah kelompok ibu-ibu muda yang senang bercanda. Pada mulanya aku tidak berprasangka buruk apapun tentang ayah hingga suatu hari Bi Mimin mendatangiku secara sengaja, tanpa membawa tujuan yang lain. Tidak ada jinjingan dan dagangan di tangannya.

"Wi, kalau sesekali saja mugkin biasa. Kok, aku bertemunya setiap hari sekarang. Apakah kamu ga risih. Tahu ga keluar rumah jam berapa?"

"Tentang ayah, Bi?"

"La iya, siapa lagi. Kalau mesjid kan arahnya dari timur, langkah ayahmu itu, kalau pulang dari menjid, pasti ke arah barat. Menuju rumah kalian. Tapi, ayahmu menuju arah sebaliknya. Masa rumah sendiri dilewati."

Aku tersenyum menanggapinya. Walau sebenarnya kepalaku penuh dengan pertanyaan. Tapi aku tidak ingin menanyakannya langsung kepada ayah. Aku tidak ingin membebani ayah dengan pertanyaan-pertanyaan yang sensitif dan tidak penting.

Sepeninggal Ibu, ayah memang sedikit berprilaku aneh. Aku sadar kalau juga sangat terpukul. Dan ketika ada hal-hal tidak biasa yang ayah lakukan, aku harus bisa menganggapnya biasa, dengan harapan hal itu akan berubah, cepat atau lambat. Aku bersedih dan menangis saat ibu pergi, bahkan berhari setelahnya aku terus melakukannya tanpa disadari. Tentang ayah, aku baru sadar setelah aku sadar kebiasaanku mulai mereda. Ayah ternyata tak jauh beda. Sesaat selepas sholat, sesaat sehabis mengaji di rumah, setiba di rumah pulang dari mesjid, aku sering mendapati ayah sedang berusaha menyembunyikan wajahnya. Tapi sembab matanya tak bisa dihapus begitu saja.

Sekarang masuk bulan ke empat dan kebiasaan ayah yang tidak berubah adalah ketika ia pasti menuju suatu tempat sepulang solat subuh dari mesjid. Dan aku tidak tahu tempat itu.

Selain Bi Mimin, adakah orang lain yang tahu? Atau curiga? Haruskan aku buntuti kemana ayahku pergi?

Sampai pada kesekian kalinya Bi Mimin menanyakan hal serupa tentang ayah, dan aku masih dengan jawaban yang sama "Tidak apa-apa, biarkan saja" jawabku ringan. "Kamu bertanggungjawab loh, Wi. Kalau sesuatu yang buruk dan mungkin sangat buruk terjadi nanti. Bibi sudah ingetin." Aku berpikir tajam. Benar juga, Bi Mimin.

Sempat Bi Mimin mendesakku untuk mencari tahu sendiri, dan jangan bertanya langsung kepada ayah. Aku setuju. Dan aku rancang satu rencana untuk buntuti langkah ayah kemana perginya sepulang dari mesjid selepas subuh. Aku tidak akan menunda waktu lagi. Subuh nanti akan aku buntuti.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 18, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KOPI PAGI UNTUK AYAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang