Seventeen

6.3K 516 16
                                    

A W A K E

Bau darah menguar di seluruh penjuru ruangan, mungkin juga di seluruh penjuru mansion mengingat seluruh penghuni mansion sudah tidak memiliki detak jantung, kecuali satu orang, [First Name]. Wanita itu mencoba mengatur nafasnya setelah berhasil melahirkan sosok putra yang ia tunggu, tetapi persalinannya tidak berjalan lancar melihat raut wajah Shuu yang setengah panik.

“A-aku ingin melihat p-putraku,” ucap [First Name] ditengah nafas yang tidak teratur.

“Jangan pikirkan putramu. Pikirkan dirimu sendiri,” sahut Reiji sambil memperhatikan istri Ayato menyerahkan sesosok mungil masih bersimbah darah pada istrinya. “Kau mengalami pendarahan hebat. Melahirkan bayi vampir tidaklah mudah, bahkan mematikan bagi manusia biasa.”

Shuu meraih tangan [First Name] dan menggenggamnya erat. Ia sama sekali tidak peduli dengan bau darah [First Name] yang mampu membuatnya tergoda, bahkan ia merasa akan gila karena tidak bisa memilih. Haruskah ia mendampingi [First Name] atau menengok putranya?

“S-Shuu ... aku tidak bisa melihat putraku tumbuh,” lirih [First Name]. Air matanya menggenang memikirkan putranya tumbuh tanpa dirinya. “Apa yang akan ia pikirkan saat mengetahui Ibunya sudah meninggalkannya sejak ia lahir?”

“Diam dan simpan tenagamu,” suruh Shuu dengan nada lembut.

[First Name] merasa kepalanya semakin ringan, begitu juga dengan kesadarannya yang perlahan menghilang. Ia sudah tidak bisa melihat jelas iris biru suaminya atau merasakan ada bibir yang mencium pergelangan tangannya. Hal terakhir yang didengarnya adalah suara Shuu.

“Aku tidak akan membiarkanmu pergi semudah itu.”

Mata [First Name] sudah terpejam, namun ia masih bisa merasakan sakit pada pergelangan tangannya, kemudian rasa sakit itu berpindah ke lehernya. Ia masih bisa mendengar suara isapan yang terlalu familiar. Apakah Shuu akan menguras habis semua darahnya? Tidak. Shuu memang selalu bersikap apatis dan kejam, tetapi tidak pernah padanya.

Entah apa yang dilakukan oleh suaminya, tetapi [First Name] merasa ada cairan yang masuk ke dalam kerongkongannya. Cairan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya, namun terasa nikmat di indra perasanya. Bibir [First Name] menyentuh sesuatu yang dingin saat ia meminta cairan itu lebih banyak, dari baunya ia tahu bahwa seseorang yang berada di dekatnya adalah Shuu.

“Tidurlah dengan nyenyak, gadis naif.”

[First Name] tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi atau yang Shuu lakukan pada dirinya, tetapi begitu ia membuka mata, [First Name] menyadari dirinya sudah berubah. Banyak bau yang berusaha masuk ke indra penciumannya, telinganya tidak mendengar apapun kecuali langkah kaki dan tangisan bayi, sama sekali tidak ada suara detakan jantung, bahkan dari dirinya.

“Menikmati tidur panjangmu?”

[First Name] melirik sosok yang merebahkan diri di sampingnya. Shuu. Tidak seperti biasanya, Shuu menyunggingkan senyum dengan tatapan penuh kekaguman saat melihat dirinya. Dalam pelukannya, [First Name] melihat sosok bayi berambut sama dengannya tetapi memiliki warna mata yang sama dengan Ayahnya.

“Aku belum memberinya nama. Kau ingin sekali memberinya nama, kan?” Shuu menaruh putranya dalam pelukan hangat Ibunya. “Aku tidak tahan dengan tangisannya. Sepertinya ia menginginkan Ibunya.”

[First Name] menempelkan bibirnya pada dahi putranya, mencium lamat-lamat sosok yang ia tunggu berbulan-bulan. Ia menyunggingkan senyum saat sebuah nama terlintas di benaknya. “Ririe. Namanya Ririe Sakamaki.”

Kalau saja Shuu masih memiliki detak jantung, [First Name] yakin ia sudah mendengar debaran jantung Shuu yang tidak terkendali. Mata Shuu sedikit melebar mendengar nama yang diucapkan [First Name]. Namun beberapa detik kemudian, bibirnya mengulas senyuman tipis.

“Kau begitu menginginkanku sampai menamai nama putra kita dengan namaku? Dasar gadis serakah,” gumam Shuu.

[First Name] mengangkat bahunya. “Apa salahnya? Kau sudah tidak memakai nama itu dan aku lebih bahagia jika anakku diberi nama dengan nama Ayahnya.”

Shuu terkekeh pelan lalu mencium pipi istri dan anaknya bergantian. Ia memosisikan diri berada di belakang [First Name], membiarkan wanita itu menyandarkan punggungnya di dada Shuu.

“Aku mencintaimu, Shuu,” ucap [First Name] seraya mengusap punggung tangan Shuu yang mengusap kepala Ririe. “Begitu juga denganmu Ririe Sakamaki. Aku sangat mencintaimu walaupun kita baru bertemu beberapa menit.”

“Kau terlalu banyak bicara,” gumam Shuu di leher [First Name].

Bibirnya menyapu setiap jengkal leher [First Name], sedikit merindukan suara aliran darah yang mengalir setiap kali ia menopang dagu di bahu [First Name]. Namun, fakta baru itu tidak membuat keinginan Shuu terhadap darah [First Name] meredup.

“S-Shuu ... J-jangan terlalu banyak. A-ah, Shuu,” pinta [First Name] saat taring Shuu memasuki lehernya. Bahkan dalam keadaan seperti ini, [First Name] masih sempat untuk membaringkan Ririe di sampingnya.

“Mungkin aku sudah tidak memiliki detak jantung, tapi percayalah saat aku berkata berada di sisimu beberapa detik membuatku merasa lebih hidup dibanding seluruh hidupku tanpamu.”

The Oldest's BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang