Hidrokarbon

754 29 7
                                    

Kita terlahir dari rahim yang sama, namun kita hidup didunia yang berbeda walaupun masih dengan bumi yang sama.

Kita itu sama, namun berbeda, kita berbeda namun sama, hal itulah yang dapat dideskripsikan dari kita bertiga.

Kita tumbuh dewasa tanpa pernah mengenal, tanpa pernah menyapa, tanpa pernah berbagi tawa dan duka.

Kehidupan kita berbeda, dari golongan sosial yang berbeda juga, ada kalanya hidup itu berubah, merubah posisi seseorang yang ada di dekat kita, setelah semuanya berubah kita harus bisa menerima perubahan itu dan kita mulai terbiasa.

👧👧👧

Oeekkk.... ooeekkkk..... oeeekkkkk

"Pak anaknya perempuam kembar tiga"

Sebuah kalimat yang membuat saya tercengang dan tidak dapat berkata-kata, saya harus senang ataukah sedih ?.

Sebenarnya saya bahagia karena memiliki tiga putri kembar yang sangat cantik, tetapi disisi lain apalah daya seorang Bapak yang bekerja sebagai tukang rongsokan dan pengrajin biola dengan gaji yang tidak tetap setiap harinya.

Akhirnya kami harus memilih jalan ini, jalan terbaik dan jalan satu-satunya agar anak kami bisa tumbuh dewasa.

Dengan berat hati kami harus merelakan kedua putri kami pergi bersama orang asing, orang yang dikemudian hari akan dipanggil Bapak dan Ibu oleh mereka.

Air mata sudah tidak dapat terbendung lagi, saat mereka menghilang dibelokan sana, seseorang disamping saya menangis tersedu-sedu dengan tangan mendekap putri yang tertinggal satu untuk kami "ALKUNA".

Sebelum kami melepas mereka berdua nama sudah kami sematkan untuk mereka, ALKANA dan ALKENA, mereka bertiga memiliki tanda lahir (toh) yang sama, tanda itu menyerupai sebuah rantai karbon di leher mereka.

Alasan saya memilih nama itu, karena saya ingat dulu pernah membaca sebuah buku tulis seorang siswa yang telah dibuang ditempat sampah, kemudian saya mengambilnya dan membaca isinya.

Buku itu sebuah buku kimia dengan tulisan seadanya, tinta hitam tanpa warna, deretan tulisan menjelajahi mata saya, hingga akhirnya saya menemukan tulisan ALKANA, ALKENA, ALKUNA.

Tujuh tahun berlalu begitu saja, meninggalkan rasa sesal di dalam dada yang sangat amat menyakitkan, rasa itu bercampur aduk dengan rasa bersalah, sudikah mereka menerima kami sebagai orangtuanya ?, tentu tidak mana ada anak yang mau menerima orangtua yang sudah membuangnya seperti itu.

"Una berangkat dulu ya Pak, Assalamuallaikum" suara melengking kecil khas anak itu membuyarkan lamunanku sedari tadi.

"Ah iya nak, wasalamuallaikum" kemudian gadis itu mencium punggung tangan saya.

Satu pesan untuk Una yang selalu saya ucapkan setiap berangkat sekolah, jadilah anak yang bisa mengangkat derajat orang tua, jangan kamu menjadi seperti Bapak dan Ibu, sekolah yang pintar ya nak.

Kata-kata itu selalu terucap setiap waktu, kami tidak ingin Una hidup susah seperti kedua orang tuanya, saya ingin menjadikan Una anak yang berpendidikan dan memiliki masa depan yang cerah.

Hanya sepeda jengki ini barang berharga yang kami miliki, ini-pun mungkin sudah rongsokan bagi orang kaya, tapi bagi kami ini adalah harta.

Saya kayuh sepeda itu sampai jauh, hanya untuk mendapatkan selembar kertas rupiah, sudah delapan tahun sepeda ini setia menemani hidup kami, setia menemani saat hujan, badai, bahkan petir sekalipun.

Saya yakin roda itu berputar, tidak selamanya yang dibawah akan selalu dibawah, dan tidak selamanya yang diatas itu selalu diatas, hidup itu berputar seperti roda sepada jengki ini.

Alkana, Alkena, Alkuna Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang