CnH2-2

258 17 10
                                    

Alkuna Julianty

Bapak selalu mengajari saya arti kehidupan, hidup itu bagaikan sebuah roda sepeda jengki Bapak saya, yang katanya, kadang diatas dan kadang dibawah.

Jangan pernah melihat seseorang dari luarnya, lihatlah dari dalamnya, seperti sepeda jengki Bapak, yang cat luarnya sudah mengarat tetapi sepeda itu sangat berharga, karena selalu menemani Bapak dimanapun dan kapanpun.

Dari kecil saya selalu berangkat sekolah dan pulang sekolah naik sepeda jengki itu bersama Bapak saya, saya suka naik sepeda itu dipagi hari, karena udara yang masih sejuk berbau embuh membuat tubuh ini segar dan menambah samangat saya untuk pergi sekolah.

Sebelum berpamitan, Bapak tidak lupa memberi nasihat kepada saya  jadilah anak yang bisa mengangkat derajat orang tua, jangan kamu menjadi seperti Bapak dan Ibu, sekolah yang pintar ya nak. Kata-kata itu sampai sekarang masih terngiang, seolah-olah sudah hafal diluar kepala.

Saya itu dibesarkan dari kelauarga yang status sosialnya menengah kebawah, saya sadar akan hal itu namun Ibu selalu bilang kita memang bukan berlian kita hanya batu kali, tapi kamu harus tahu  rumah tidak akan jadi kalau tidak ada batu, begitu juga kita, negara ini tidak akan maju kalau tidak ada kita. Maksudnya negara ini tidak akan maju kalau tidak ada kita itu adalah ibu itu yakin kalau nanti saya akan menjadi anak yang berguna bagi bangsa dan negara dan merubah semuanya, merubah struktur pemerintahan di negara ini, lebih mementingkan rakyat kecil, dan memastikan mereka mendapatkan pendidikan yang layak, kurang lebih seperti itu penjelasannya.

Saya pernah waktu itu dimarahi sama Bapak, karena setiap kali pulang sekolah saya selalu bertanya Pak kapan aku bisa naik mobil seperti mereka ?. Karena memang saya sekolah di sekolah yang muridnya lumayan banyak yang kaya jadi setiap dijemput selalu menggunakan mobil, sedangkan saya ?, hanya sepeda jengki berkarat itu, terkadang aku malu, karena sering di ejek sama teman-teman kalau saya ini anak tukang rongsokan yang bau, sepedanya juga rongsokan.

Rasa malu pernah terbesit dihati saya waktu itu, rasa ingin merubah segalanya, rasa ingin meninggalkan semuanya yang saya miliki sekarang dengan mencari kehidupan baru yang lebih layak.

Saya harus bisa merubah status sosial keluarga menjadi lebih layak, bukan lagi bertempat tinggal di gubuk kumuh pinggir kali seperti ini, tidak lagi, suatu hari nanti saya akan membawa Bapak dan Ibu pergi dari sini, pergi dari gubuk reot ini menuju rumah gedongan yang lebih baik dengan udara yang segar bukan lagi udara pengab berbau sampah.

Kalau kamu ingin naik mobil, kamu harus mendapat ranking yang baik dikelas. Itu kata Ibu saya.

Sejak SD sampai sekarang kelas XI SMA alhamdulillah saya selalu mendapatkan rangking dikelas, saya juga mendapatkan beasiswa bagi anak yang pintar dan kurang mampu.

Berbagai lomba saya ikuti mulai dari olimpiade hingga lomba musik, saya sangat menyukai musik, berhubung Bapak saya selain sebagai tukang rongsokan beliau juga seorang pembuat biola.

Dari kecil saya sudah diajari beliau memainkan nada-nada biola itu, sepulang sekolah sambil membantu Bapak, saya juga berlatih biola.

Lomba musik pertama saya itu waktu kelas tiga SD, Bu guru bilang kalau saya akan mengikuti lomba musik, Bapak dan Ibu sangat senang mendengar hal itu.

Setiap harinya Bapak mengajari saya berlatih, saya sangat sungguh-sungguh, saya yakin akan memenangkan lomba itu, dan pemenangnya akan mendapat hadiah uang tunai yang lumayan besar, namun takdir berkata lain, saya hanya mendapatkan juara harapan, saat itu juga hati saya hancur, rasa kecewa menghantia saya.

Saya minta maaf kepada Bapak dan Ibu karena saya sudah gagal, namun kata Ibu, ini bukanlah akhir dari segalanya, ini merupakan awal dari segalanya, kegagalan itu awal dari kesuksesan. Kata-kata itu langsung tertanam dihati saya, setelah saya renungkan memang benar waktu itu Ibu berkata seperti itu, akibat kegagalan saya sepuluh tahun lalu membuat saya berdiri kokoh diposisi ini, kalau saja kejadian itu tidak pernah ada, mungkin saya tidak akan menjadi seperti sekarang.

Alkana, Alkena, Alkuna Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang