Inspired by: Restoverso. Thank you for making me cry.
"I'm here looking his back, while he's looking up the front."
Akhirnya lelaki itu datang. Dengan 3 orang temannya yang juga sering datang kemari untuk menikmati beberapa gelas wine. Mereka—termasuk lelaki itu, datang seminggu sekali. Biasanya malam minggu, tengah malam. Namun kali ini mereka berkumpul cukup awal. Pukul 8 malam. Dia selalu menghuni tempat duduk disudut, dekat dengan kaca bening yang mengarah langsung ke jalanan besar diluar sana.
Aku jatuh cinta padanya.
Lelaki yang bahkan tidak ku ketahui warna matanya. Coklat? Hijau? Atau mungkin biru? Dia selalu duduk memunggungiku membuatku tidak bisa melihat wajahnya lama. Tidak ada yang istimewa mengenai dia. Hanya punggung tegap yang selalu ku pandangi bahkan aku lukis dalam sebuah kertas putih. Punggung yang suatu hari, pernah terbuka tanpa lapisan kain menampakkan sepasang tato sayap sepanjang punggungnya. Menakjubkan sekaligus menakutkan. Mungkin itulah yang membuatku terus memandanginya dengan sudut mata, berharap aku bisa berhenti melakukannya. Namun keingintahuan untuk mengetahui warna matanya tak bisa menghentikanku.
Justin. Lelaki itu. Selalu memesan minuman yang sama. Segelas Chardonnay. Sedangkan ketiga temannya, memesan sebotol Champagne. Tawaan renyah keluar dari mulut Justin. Hal itu hampir terjadi di setiap mereka datang. Menertawakan hal yang entah kuketahui.
Tanpa kusadari aku ikut tersenyum. Membayangkan betapa manisnya jika dia tertawa. Kadang aku berpikir, apakah aku akan tetap mencintainya padahal dia tak mengenaliku? Mengetahui mungkin, karena aku seorang penjaga kedai ini. Pasti bukan hal yang asing jika dia melihatku ketika melangkahkan kakinya masuk ke dalam kedai wine milik kakakku ini.
Salah satu dari temannya melambaikan tangannya padaku. Aku tersentak dari khayalan tentang lelaki itu. Temannya memintaku untuk datang ke mejanya. Jantungku berdegup kencang. Aku tidak pernah menyinggahi meja itu kecuali sebelum Justin datang. Karena Justin selalu datang terlambat dan menghilang cepat, bersama malam dengan sorot lampu dan deru kendaraan yang semakin samar.
Aku mengangguk sekali sebagai jawaban 'ya'. Kemudian dengan jantung berdetak diatas normal serta keringat yang mulai mengucur di pelipisku, aku mendekati meja itu.
"Tolong, berikan sebotol Champagne lagi. Kurasa kami akan menghabiskan banyak waktu." Aku kembali mengangguk. Merasa sangat berat untuk membuka mulutku demi mengatakan 'ya, tunggu sebentar'
"Tunggu." Tahan salah seorang dari mereka dan aku sadari bahwa dia adalah Justin. Nafasku terhenti menunggu kelanjutan dari kalimatnya. Ini adalah kesempatan bagiku untuk mengetahui warna matanya.
"Beri aku segelas Eiswein." Ia memberikan gelas berkaki panjang yang telah kosong padaku dan disaat itu aku melihat ke arah matanya dalam tapi begitu cepat, sangat cepat. Karena dia langsung mengalihkan padangan pada temannya yang kembali berbicara.
Aku berjalan menjauhi mereka menuju krat-krat berisi botol wine yang berdebu. Tak terasa kedua ujung bibirku mengembang. Membentuk senyuman yang sangat lebar. Aku mengetahui warna matanya. Coklat karamel. Sangat indah dan...menenangkan. Bahkan aku merasakan sebuah kehangatan dari tatapan yang dia berikan padaku.
Aku memeluk gelas yang Justin berikan padaku. Memeluknya seakan gelas ini adalah Justin dan tak akan aku lepaskan. Aku melirik sekilas ke arah Justin dengan senyum mengembang. Kini Justin memesan minuman yang berbeda. Wine dengan kadar alkohol tak begitu tinggi dibanding Champagne. Dan entah kebetulan atau keajaiban, wine kesukaanku adalah Eiswein. Ya, karena Eiswein adalah jenis wine manis yang dibuat menggunakan anggur yang masih berada dalam kondisi beku. Aku juga beranggapan bahwa cinta itu seperti segelas Eiswein. Meskipun sudah diteguk habis, rasanya tersisa untuk waktu yang sangat lama, baik pahit maupun manis.
KAMU SEDANG MEMBACA
His Eyes [ONESHOOT] [BLS]
FanfictionDia memiliki mata indah berwarna coklat karamel.