“Kenapa diem aja? Ayo masuk”
Kini aku hanya dihadapkan pada 2 pilihan. Tetap masuk atau kabur. Keduanya sama-sama pilihan yang sulit bagiku. Di antara kedua kakiku rasanya seperti ada sulur yang membelit sehingga aku sama sekali terpaku di ambang pintu. Mataku masih mengawasi gerak gerik Evan yang sedang menaruh tas di sofa merah dan mengecek dua buah mikrofon.
“Masih diem di sana?” tegur Evan, “Jangan-jangan kamu takut ya?”
Berselang beberapa detik dalam hening, aku baru sadar maksud pertanyaan itu. Untuk kesekian kalinya harga diriku dipertaruhkan. Padahal hanya satu kalimat berisi satu pertanyaan sederhana. Tetapi aku merasa itu bukan sekedar pertanyaan. Apalagi dinyatakan dengan intonasi menaik dan senyum sinis. Itu sangat terlihat seperti menantangku!
“Ng-ngga lah! Kamu mo nantang aku karaoke? Belom tau kalo aku jago nyanyi ya?” rasa percaya diriku menyeruak kuat, mengingat aku cukup sering ke tempat karaoke bersama Emma. Sulur imajiner yang tadinya membelit kedua kaki kusingkirkan kuat-kuat dan melangkah ke dalam ruang karaoke dengan percaya diri. Huh, lihat saja, meski dalam kecepatan berpikir aku memang kurang, tapi jangan remehkan talenta yang satu ini.
*****
Kami berdua keluar dari ruang karaoke karena waktu booking telah habis. Waktu satu jam ternyata begitu singkat ketika aku menikmatinya. Tenang saja, tadi sama sekali tak terjadi hal-hal aneh di dalam. Kami hanya memilih beberapa lagu dan menyanyi bersama-sama. Sesekali hanya aku atau Evan sendiri yang bernyanyi. Saling bergantian.
Tak sesuai dugaan, ternyata karaoke tadi sangat mengasyikkan. Ada kalanya kami tertawa karena salah menyanyikan lirik atau mendadak lupa nada di tengah-tengah lagu. Ya, aku masih ingat ketika Evan tertawa. Sungguh tak disangka ternyata tawanya begitu manis, lepas, ceria, seolah tak ada beban. Tatapan, ekspresi, dan aura sedingin es itu seketika mencair saat pertama kalinya aku melihat senyuman pertamanya.
“Habis ini mau kemana lagi?” tanya Evan saat kami berjalan-jalan tanpa arah di lantai 2. Entah kenapa ekspresinya menjadi datar lagi seperti sebelum karaoke.
“Ngga tau, langsung pulang aja kayaknya,” jawabku asal. Seandainya sikap datarnya berubah pasti aku masih mau bertahan lebih lama di sini. Cepat-cepat aku berjalan ke arah eskalator turun ke lantai dasar.
“Eits, mo kemana,” Evan menarik tasku cukup kuat dari belakang, “Masih ada sisa uang karaoke itu kan?”
“Ih, ngapain sih?” aku menjadi jengah dibuatnya. Keinginan untuk cepat pulang terus mendorongku.
“Kamu ngga boleh pulang sebelum nemenin dan beliin aku makan,” dengan arogannya ia menahanku untuk beranjak. “Aku lagi ngga bawa uang soalnya”
Aku tak menyerah begitu saja menyingkirkan tangan pucatnya dari tasku, “Ogah. Aku mau pulang aja. Bye”
Tepat ketika aku berbalik, tiba-tiba muncul bunyi aneh dari belakangku. Bunyi itu terdengar dekat sekali. Sepertinya dari Evan. Sementara cowok itu mengalihkan pandangan ke arah food court, dan aku mulai sadar bahwa itu adalah bunyi perut Evan yang keroncongan. Ya ampun, dia kelaperan ternyata!
Rasa iba pun muncul dari dalam hatiku. Sekelebat dugaan-dugaan lewat di pikiranku. Mungkin saja ia kehabisan atau bahkan tidak membawa uang hari ini, lalu berharap ada yang mentraktirnya makan. Aih, malang juga nasib si tampan berkulit pucat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Because, I'm Looking For My Ladybug
RomanceEntah angin dari mana yang membuatku bertemu dengan orang aneh tanpa ekspresi dan berkulit pucat ini. Ibarat sup, dia begitu hambar. Tapi dalam sup itu entah kenapa ada sesuatu yang terasa menggelitik ketika aku menyendoknya lebih dalam lagi...