“Eh, akhir-akhir ini kenapa kamu telat mulu sih? Emang ngapain dulu sebelum berangkat sekolah?”
“Hmm.. ngapain ya…?”
“Kok malah bengong gitu sih??”
“….Nyari kepik”
“Haa….???”
***********
Sistem baru? Apa-apaan itu? Rasanya aku memerlukan bukti sebanyak-banyaknya tentang fakta menyebalkan ini! Ingin kubenturkan kepalaku berkali-kali untuk dapat memercayai fakta bahwa aku duduk di kelas A, kelas unggulan! Yang tak lain adalah bagian dari sistem baru sialan di sekolahku pada tahun ajaran ini.
Lagipula, aku terpisah dari sahabatku yang menempati kelas C. Tak dapat dibayangkan, akan mengobrol dengan siapa kalau bukan dengan Emma? Jangankan mengobrol, aku tak yakin dapat duduk dengan nyaman di kelas, meski hanya berlangsung selama kurang lebih 8 jam. Yah, mungkin aku masih dapat bertemu dengan sahabatku pada waktu istirahat dan pulang sekolah, tapi aku takkan tahan berlama-lama di kelas bersama para nerdy di sini! Melihat setelan dan ekspresi kaku mereka saja sudah membuatku terintimidasi dan tak yakin dapat menyaingi nilai mereka!
“Wah, Yovi hebat ya bisa masuk kelas XI A. Ngga bosen-bosennya Mama bangga sama kamu, Vi”
Selama beberapa hari terakhir ini aku terus menerus mendengar pujian yang rasanya tidak tepat sasaran itu. Meski berkali-kali kutampik—dengan alasan keberuntungan belaka—, namun Mama seolah tak peduli. Yang penting sang anak bungsu bernama Yovita di keluarga ini mencetak prestasi cukup mengejutkan, meski tak disertai bukti otentik berupa piala atau penghargaan apapun. Wajahku semakin memerah, merengut karena rasa malu sekaligus tak menerima nasib yang ada.
“Mending sistem kayak gini sih, daripada sistem kelas IPA sama IPS, rasanya kayak mengkotak-kotakkan gitu lho,” saat Mama angkat bicara kembali, aku berteriak dalam hati. Demi sumpah, demi apapun, aku lebih memilih sistem jurusan seperti itu! Seandainya masih berlaku sistem demikian, tentu saja dengan gamblangnya aku akan memilih IPS, daripada bertemu para nerdy di kelas IPA.
“Lagian juga ajaib banget sih Yopi masuk kelas unggulan, bukannya tiap hari dia otaknya lemot yah?” sang rival, yang tak lain adalah kakakku menambah rusaknya suasana pagi hari ini.
“Apaan sih??! Seenaknya aja ngomong!” tangkisku emosi.
“Yovi sekarang udah beda lho. Buktinya, dia bisa masuk kelas A,” Mama yang sibuk di dapur berusaha membelaku.
“Oke, sekarang coba buktiin kalo kamu udah ngga lemot lagi. Aku punya teka-teki buat kamu,” mau tidak mau aku menerima tantangan kakakku dengan kesal. Hal itu kulakukan demi harga diriku. Berani-beraninya ia meremehkan adiknya yang telah dinobatkan sebagai cewek tercantik 5 besar di sekolah.
“Dengerin baik-baik yah. Ayahnya Anton, punya 5 anak, namanya Ani, Ana, Andi, sama Alif. Nah, siapa nama anak kelima??” aku menyimak baik-baik sambil mengunyah sereal.
“Eh? Eh? Coba ulangin lagi pertanyaannya,” Kak Wika kembali mengulangi teka-teki sesuai permintaanku, dan kembali kusimak dengan hati-hati.
“Hayo, apa jawabannya?? Gampang banget loooh” cewek modis berambut sebahu itu memberi isyarat agar Mama bungkam. Mama ternyata sudah mengetahui jawabannya. Dengan tak sabar kuhabiskan menu sarapan, berharap segera menyelesaikan teka-teki menyebalkan itu. Namun sayangnya berapa lama aku berpikir, jawabannya tidak kutemukan.
“Ih, emang apaan sih jawabannya??”
“Beneran ngga tau?! Jawabannya ya Anton laah! Kan Kakak udah sebutin di pertanyaannya kalo ayahnya Anton punya 5 anak” mendengar jawaban Kak Wika, Mama tertawa terpingkal-pingkal. Si pelontar teka-teki itu tentu saja ikut menertawaiku sebelum ia berlalu menuju mobilnya yang terparkir di depan rumah, siap berangkat menuju kampus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Because, I'm Looking For My Ladybug
RomanceEntah angin dari mana yang membuatku bertemu dengan orang aneh tanpa ekspresi dan berkulit pucat ini. Ibarat sup, dia begitu hambar. Tapi dalam sup itu entah kenapa ada sesuatu yang terasa menggelitik ketika aku menyendoknya lebih dalam lagi...