"Maaf, Diana. Mulai sekarang kita tak bisa sedekat biasanya. Aku nggak mau pacaran, sedang aku belum siap untuk nikah. Aku harap kamu mengerti."
Mata Diana berembun. Dalam hati kecilnya, ia tak mau kehilangan sosok yang akhir-akhir ini begitu dekat dan selalu siap mendengar keluh kesahnya. Gadis manis itu menelan ludah. Tenggorokannya tiba-tiba terasa kering, dan dadanya sesak. Kenapa laki-laki yang tadinya begitu perhatian dan selalu berusaha menyapanya setiap ia membuka media sosial tiba-tiba saja menjauh? Apa salahku? Batinnya tergugu.
"Ok. Nggak papa." Ketiknya di chat room, lengkap dengan emotikon senyum.
Sebenarnya Diana penasaran juga.
Apa sebenarnya yang melatarbelakangi keputusannya? Apakah ada yang salah dengan komen-komenku, atau statusku? Atau ada hal lain?
Ingin sekali ia lontarkan pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk dalam hatinya. Namun terpaksa ia hapus kembali. Mungkin aku saja yang terlalu baper! Batinnya lagi.
---
Mereka berdua berkenalan di sebuah grup kepenulisan. Awalnya Julian selalu memberikan like terhadap setiap postingan Diana. Entah itu puisi, artikel, ataupun cerpen. Sedangkan ketertarikan gadis itu hanya karena nama laki-laki itu sama dengan tokoh idolanya di buku Lima Sekawan. Julian, dalam buku best seller dunia karya penulis asal Inggris itu adalah sosok pemuda yang tampan, ramah, baik hati, cerdas dan bertanggung jawab. Dia mempunyai bakat alami sebagai pemimpin yang selalu bisa mengambil keputusan yang tepat di saat-saat genting.Julian sangat sabar dan perhatian dalam memberikan bimbingan menulis kepada Diana. Hal itu membuat gadis perasa itu semakin bersemangat menulis. Hampir semua puisi dan cerpen yang ia tulis terinspirasi sosok pemuda itu.
"Puisinya bagus. Diksinya keren, tapi sayang feelnya kurang dapet. Perbanyak latihan ya, Diana!"
"Overall cerpennya menarik. Cuma openingnya kurang cetar. Coba ganti dengan kalimat yang lebih provokatif, yang membuat pembaca penasaran."
"Tulisanmu tambah bagus!"
Itu yang Julian tulis di kolom komentar. Berbeda lagi dengan yang terbaca di kotak pesan facebook Diana. Semakin lama, pesan-pesannya terasa semakin akrab. Perhatian-perhatian kecilnya membuat Diana semakin terpikat.
"Nanti aku kirimin novel yang bagus banget. Inspiratif. Pasti kamu suka."
"Udah baca buku ini belum?"
"Lagi di mana?"
"Sarapan apa pagi ini?"
"Untuk kamu, semoga suka!" katanya saat mengirimkan beberapa bait puisi cinta.
Anehnya lagi, ia belum pernah bertemu dengan sosok teman mayanya itu. Wajahnya pun ia tak tahu, karena foto profil Julian di facebook hanya cover sebuah buku berwarna merah bergambar kucing. Kebetulan Diana juga penyayang kucing, dan itu membuat gadis berusia seperempat abad itu semakin terkesan. Kedekatan mereka selama ini hanya terbatas pada saling memberikan like, berbalas komentar dan berlanjut saling berbalas pesan di chat box.
Sekalipun belum pernah bertemu, kehadiran pemuda itu sanggup mengubah kehidupan Diana. Ia menjadi lebih bersemangat, lebih banyak membaca buku, dan lebih banyak membaca berita dan yang paling aneh menjadi suka menonton sepak bola. Hal yang selama ini paling tabu ia lakukan. Tentu hal itu ia lakukan agar selalu tahu apapun yang dibicarakan Julian.
Ia berubah menjadi seorang perempuan muda yang menyenangkan dan berwawasan luas. Ia selalu bisa mengikuti semua topik pembicaraan. Efek negatifnya, Diana menjadi semakin boros dengan kuota internet, dan semakin tak bisa membedakan waktu.
Kadang ia tersadar kalau kehadiran lelaki itu telah membuatnya kecanduan.Yah, Julian bagaikan zat adiktif dan psikotropika yang berbahaya bagi tubuh. Ia akan merasa kehilangan dan tak bersemangat jika tak menemukan sosok pemuda itu di facebook. Perhatian dan candaan pria itu sering mebuatnya sakaw. Mungkin tingkat keracunan darah dalam tubuhnya sudah setingkat pengisap putauw atau ganja yang segera memerlukan rehabilitasi.
"Abang kerja di BNN, ya?"
"Iya, Neng. Emang kenapa?"
"Tolong rehabilitasi hatiku yang kecanduan cintamu!"
Mungkin keadaan Diana sudah separah itu? Kesadaran kalau dirinya telah terjebak dalam pesona cinta maya lah yang membuat ia mengiakan saja tanpa bertanya lebih lanjut alasan Julian menjauh.
---
Beberapa bulan kemudian, di suatu Sabtu pagi yang cerah. Setelah jiwanya sedikit lebih waras karena kehilangan Julian, Diana pun berniat kembali ke aktivitas semula. Membaca, dan menulis cerpen maupun puisi. Kebetulan tiap akhir pekan, sebuah koran besar ibu kota selalu memuat cerpen yang dikirim para penulis seluruh negeri. Hmmm ... aku harus mencoba menulis lebih bagus lagi biar bisa dimuat di koran ini, batinnya.Kali ini, cerpen yang dimuat sangat menarik. Cerpen itu adalah cuplikan dari novel terbaru seorang penulis terkenal, yang akan launching esok hari di sebuah toko buku besar di Jakarta. Kata demi kata ia telusuri dengan penuh antusias. Sepertinya ia kenal betul setiap diksi yang dipakai dalam narasi tulisan itu. Juga tiap dialognya ia sudah hapal betul. Ia seperti telah menjadi tokoh utama dalam lakon yang dimainkan. Tiba-tiba gadis manis itu terhenyak. Dadanya terasa sesak. Ceritanya persis sama dengan yang terjadi antara ia dan Julian.
Jadi ... seribu tanya berkecamuk dalam benaknya. Mata gadis itu semakin nanar. Lalu ia pun mengulangi kembali membaca nama penulisnya: Julian Iskan.
(lanjut part 3)