White Rose

22 4 2
                                    

Esoknya setelah jadwal kelas kampusku sudah selesai, aku langsung pergi menuju toko yang sangat indah dimana banyak tumbuhan berwarna-warni nan harum baunya. Ya, toko bunga.

"Mbak, satu bucket white rose flower ya. Tolong dibungkus dengan baik." pintaku pada pegawai toko tersebut.

"Baiklah."

"Oh iya, tambah dua tangkai mawar merah ya mbak."

Setelah mendapatkan bunga yang aku inginkan, aku pergi berjalan menuju bukit. Dimana disana terdapat rumah masa depan seseorang yang kusayang dan ku cinta.

Dari kejauhan aku mendapati seseorang membersihkan disekitar makam ibu menggunakan sapu lidi untuk menghilangkan daun-daun kering. Saat aku menghampirinya, ternyata orang itu sudah selesai membersihkannya dan akan segera pergi.

"Terimakasih ya pak." ucapku pada orang tersebut yang sudah tergolong tua.

Bapak itupun menoleh padaku dan menjawab, "Sama-sama neng. Neng rajin kesini ya."

"Hehe iya pak." jawabku pada bapak itu.

Kemudian sambil tersenyum bapak itu mulai berjalan pergi sampai hilang dari pandanganku.

Lalu pandanganku beralih pada makam ibu.

"Ibu, aku membawakan bunga white rose yang selalu aku janjikan padamu." sambil berjongkok dan meletakkan sebucket bunga white rose yang sangat disukai oleh ibu di depan batu nisannya.

Aku mulai duduk disamping makamnya seperti biasa dan meletakkan dua tangkai mawar merah disampingku.

"Ibu sangat cocok sekali dengan bunga white rose." aku tersenyum-senyum mengingat bagaimana sifat ibu dulu. "Anggun.. lembut.. hati yang suci... Sifat itu sangat lekat pada ibu. Seperti white rose ini." ucapku dengan melirik bucket white rose itu.

Aku tersenyum miris mengingat masa-masa dulu saat aku bahagia bersama ibu.

"Ibu, aku sangat ingat sekali dulu kau selalu membelikanku es krim vanilla. Dan kita bersama memakannya dihalaman belakang rumah sambil menghitung banyaknya kupu-kupu yang terbang." Aku mulai merebahkan tubuhku pada rerumputan hijau disamping makam ibu.

"Waktu aku dan ibu pergi ke pantai, aku mengambil banyak pasir lalu aku menumpahkan semua pasir pada badan ibu yang hanya menyisakan wajah dan membentuknya menjadi seperti seorang sumo." Aku mulai tertawa mengingat hal itu.

"Dan lagi saat aku akan tidur, ibu selalu menyisir lembut rambutku sambil bercerita film kesukaanku sampai aku tertidur dalam pelukanmu." dengan kembali tersenyum aku berkata, "Aku sangat suka dengan hal itu. Hal yang tak pernah aku lupakan karena kehangatan akan kasih sayangmu padaku."

Mataku mulai berkaca-kaca. Gawat! Selalu saja seperti ini. "Maaf bu, aku selalu saja cengeng. Padahal aku sudah dewasa, kenapa masih seperti anak kecil?" aku mulai menghilangkan air mata yang akan jatuh tersentuh oleh permukaan pipiku dan mulai bangun dari rebahanku tadi menjadi posisi duduk.

"Oh ya bu, besok tau kan hari apa?" tanyaku antusias sambil masih membersihkan mataku yang membendung air mata.

"Iya! Besok hari ulang tahun ibu." gembiraku dengan bertepuk tangan. "Aku telah menyiapkan sebuah hadiah untuk ibu dirumah."

Ya aku memang sudah menyiapkan suatu hadiah untuk ibu. Dan telah kupersiapkan dirumah yang sepi dan menenangkan. Dari dulu memang rumah ini hanya aku dan ibu yang menempati. Kalau ayah, dia sudah memiliki kehidupan yang baru di luar negeri. Dan ayah hanya dua kali setahun berkunjung kerumah bersama keluarga mereka. Hubungan kami baik-baik saja. Ayah selalu mengirimiku uang saku tiap bulan.

Setelah ibu tiada, aku pernah diajak ayah untuk tinggal bersamanya. Tapi, aku menolaknya karena tidak bisa meninggalkan ibu dan rumah beliau.

"Alexa!!"

Lamunanku terbuyar oleh teriakan seseorang dari kejauhan. Aku menoleh pada arah sumber suara, dan ternyata mereka adalah sahabat-sahabatku yang selalu ada disampingku. Mereka adalah Fei dan Yura.

"Alexa, ternyata kamu disini." ucap Yura dengan nafas terengah-engah.

"Iya, memang kenapa?"

"Gawat Al gawat!" teriak Fei padaku dengan raut wajah panik.

"Gawat kenapa Fei?" tanyaku yang ikutan panik.

"Rumahmu Al, rumahmu kebakaran."

Seakan dunia runtuh dan menimpaku, badanku terasa gemetar mendengar hal itu.

"Ke-kebakaran?"

"Iya lebih baik sekarang kita langsung kerumahmu Al." saran Yura dan aku langsung berlari sekuat tenaga menuju rumah yang aku sayang dan kujaga sampai sekarang.

Sambil berlari, mataku mulai mengeluarkan air mata yang lama-lama dengan deras membasahi pipiku.

Rumah peninggalan ibu.

Rumah dengan berbagai kenangan bersama ibu.

Rumah berisi barang-barang ibu.
KEBAKARAN?!

Apakah ini mungkin?

Apakah semua barang yang ada didalam rumah ini terbakar?

Aku harap itu tidak akan terjadi.

Bersambung

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 22, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Coffterose And My Mom'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang