1. Sebesit Memory

13 0 0
                                    


          Hujan, yang turun dengan derasnya sejak siang tak usai reda. Seluruh alam dan makhluk hidup dibasahi berjuta tetesan yang datang dari langit. Nikmat Allah yang membawakan keberkahan dan tak jarang membawa bala bencana ini telah mengurungku selama berjam-jam di rumah. Ku sibakkan tirai tinggi yang menghalangiku tuk melihat derasnya hujan hingga sore ini. Ku tatap sejumput dahan dan dedaunan yang pasrah akan serangan air yang membasahinya, bagai kapal yang berada di tengah pusaran air. Ku tersenyum simpul melihat makhluk ciptaan Allah yang bernama daun dan sekerjap kenangan atas ketulusan dan jalan buntu itu terulang. Kenangan yang tak jarang menjadi mimpi buruk dalam lelap tidurku. Dan daun itu telah menjadikan pelajaran yang kudapatkan dari kenangan itu. Ku hirup udara dengan panjang dan kuhempaskan secara perlahan, kututup mata ini dan ku rapatkan kembali tirai yang terbuka. Ku berjalan melangkahkan kaki ke dapur untuk membuatkan 2 cangkir coklat hangat kesukaan kami sejak dulu saat hujan tiba.
            Kakiku melangkahkan ke ruangan terbesar di rumah ini yaitu ruang tamu. Mataku menjuru lurus, kedua tanganku penuh dengan 2 cangkir coklat hangat. Dengan cepat langkahku berhenti dihadapan sosok lelaki yang sudah 8 tahun menjalani ranah kehidupan denganku. Ku letakan kedua cangkir itu pada meja bundar berukuran kecil dan ku duduk di hadapanya. Ku rebahkan tubuh kurusku pada sofa kecil  milik kami. “Terima Kasih  dutty” Lelaki yang sedang berkutik bersama Koran dan dengan posisi kaki kanan ke atas kaki kiri ini tiba-tiba memanggilku dengan panggilan berbeda.  Panggilan dulu yang sudah  jarang sekali kudengar kembali. Dimas, suamiku yang telah memberikan satu anak perempuan bernama Nadien sastra Ardiansyah ini sehari-hari memanggilku dengan sebutan Bunda, di depan Nadien atau tidak panggilannya tetap sama. Dengan cepat ku tegakkan posisi duduk santaiku.
“mengapa kamu memanggilku dengan sebutan itu yah? Sebutan yang sudah lama tak ku dengar lagi”. Dengan pertanyaanku, Dimas mampu menutup Koran yang dibacanya dan melepas kacamata bacanya. Lalu ia menatapku dala, mata kami bertemu sangat dalam dan penuh arti. Mata coklat milik Dimas tak pernah berubah saat dahulu ku bertemu denganya hingga kami kini kami sudah menjadi suami istri.

“Seketika kurindu kita yang dulu ra, masa yang masih saling memiliki kebersamaan dan kehangatan. Bahkan masa-masa ketika hujan datang”. Suara halus yang keluar dari lelaki yang kucintai ini keluar dan bagaikan peluru yang sudah menancap di dalam dadaku. Secara tidak langsung, Dimas membuka kenangan lama yang sudah  ku tak ingat.  Mataku bergenang air yang siap jatuh dan membasahi pipi ini, dengan cepat kupalingkan tatapanku dan berdiri menuju jendela lagi. Hujan menjadi tontonan abadiku saat ini. Setiap tetesan air yang turun menjadi saksi dari luka yang kuingat kembali, ku rangkul lenganku dan kujatuhkan air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata. Dan perlahan ku buka kembali kenangan itu… 

Ting…
Ting…
Ting…
Suara itu, bukan suara alarm yang ada di kamarku. Aku kenal suara ini. Suara yang selalu membangunkanku setiap minggu pagi yang di hempaskan sekuat mungkin hingga menyentuh telinga.  Kaki ku menyentuh lantai, ku berjalan menuju balcon atas rumah. Dimas dan Nadien sudah menunggu dan melambaikan tanganya ke arahku. Aku tersenyum lebar dan mempersilahkan mereka menungguku di dalam. Sudah menjadi kebiasaan kami setiap minggu pagi untuk bersepeda mengelilingi komplek rumah. Kita bertiga, aku, Nadien dan Dimas. Ya, hanya kami bertiga yang selalu melakukan semuanya bersamaan dan ini sudah berjalan sejak lama, sejak usia aku dan Nadien 7 tahun dan usia  Dimas 8  tahun. Rumah kami berdekatan, ayah ibu kami berteman baik dan itu yang menjadi pemicu kami untuk melewatkan hari-hari  di rumah dan di sekolah selalu bersama-sama selama 10 tahun ini. Sekolah kami memang sama, karena dalam komplek perumahan kami hanya ada 1 sekolah yang terdekat yaitu sekolah Wira Kartika. Bosan? Entah sejak dulu hingga sekarang rasa bosan tak pernah ada. Namun, dalam persahabatan tentulah ada badai yang menerpa. Dan yang sering terjadi adalah antara aku dan Nadien, karena kami sama-sama wanita dan akhirnya Dimas lah yang menjadi penengah.  Suatu persahabatan tanpa ada badai, maka tak akan ada pelajaran yang dapat kita ambil dalam memahami dan mengerti sahabatmu. Dan
disaat ada badai tiba, berfikirlah dewasa, berlapang dada untuk memaafkan dan mencoba memperbaiki keadaan, maka keeratan dan kebersamaan itu akan kembali lagi. Satu kata yang tersirat dalam pikiranku hingga hari ini ku jalani.
          
           Seusai mandi, ibu mengetuk pintu kamarku. “ ra, cepat nak. Nadien dan Dimas menunggumu dari tadi.” Seru ibu dengan lembut. Ku iya-kan kata-kata ibu dan beberapa menit kemudian ku keluar kamar. Sampai di tangga ku lihat sahabatku itu sedang berbicara dengan ayahku. Setiap pagi weekend ayah memang selalu bersantai dengan membaca Koran dan menyuruput secangkir kopi hangat buatan ibu di ruang tamu.
“hmm… Ratu kesiangan baru turun tuh, kebiasaan kalau libur tidak pernah bangun pagi. Malu sama teman-teman kamu tuh.” Ucap ayah yang membuatku sedikit jengkel.
“Santai om, sudah tau ko kebiasaan Namira selalu kesiangan. Maka dari itu kita samper, kalau ga disamper kita ga jadi sepedahan om.” Seru Dimas yang dilanjut dengan gelak tawa dari ayah dan Nadien. Aku hanya terseyum malu.
“Iya, sorry deh. Lagi pula ini kan baru jam 7 pagi. Biasanya juga samper jam 8.” kataku membela diri. Tak ada reaksi apapun dari mereka kecuali Ayah yang menggeleng-gelengkan kepala. Setelah itu, ku ambil segelas susu yang sudah disiapkan bi Inah dan ku teguk hingga habis. Setelah habis, aku bersalaman dengan ayah lalu ke dapur dan mencium ibu seraya berkata
“Aku jalan ya yah, bu. “
Dimas dan Nadien mendorong sepeda mereka yang terparkir di halaman rumah ku. Sedangkan aku, harus mengambil sepeda yang  berada di garasi mobil rumah. Tak lama kemudian, aku dan sahabat-sahabatku mengayuhkan pedal sepeda dengan semangat dan menyusuri setiap jalan-jalan di sekitar komplek. Matahari menyapa, pohon-pohon melambaikan dedaunan nya pada kami, dan angin menghempaskan  segala keceriaan kami pagi ini. Tak banyak motor maupun mobil yang lalu lalang. Hanya ada debu dan aspal yang kami lewati.  Kondisi jalan yang sangat kondusif untuk kami dapat berlomba-lomba dalam bersepeda. Hal yang kerap kali terjadi ketika kami bersepeda, berlomba dan yang kalah bersedia membeli minuman untuk kami bertiga. Aku, walau aku wanita aku tak mau kalah dari Dimas dan Nadien.
“Hei kalian, gue duluan yaaa!!!” teriak ku sambil  menyunggingkan senyum kesombongan  pada Dimas dan Nadien yang berada di belakangku. Ku gerakan terus kaki ini untuk melesat jauh dari mereka. Karena begitu semangatnya, di persimpangan jalan ku melihat pak Dadang seorang penjual Koran di komplek kami mengendarai sepedanya dalam keadaan sambil melemparkan Koran ke rumah-rumah warga dan tidak focus ke depan. Aku yang sudah melesat cepat dengan sepedaku ini terburu-buru menarik pedal rem di tangan. Aku kaget dan tak dapat mengontrol sepeda ku hingga akhirnya harus menabrak sepeda pak Dadang.
Bruk…
            Sepeda ku dan sepeda nya pak Dadang terjatuh. Namun, sepeda kami baik-baik saja, bahkan pak Dadang yang ku tabrak hanya terjatuh dan tak ada luka. Tetapi, tidak dengan ku. Aku jatuh tergeletak dan tak mampu menopang sepeda yang berat ini, hingga akhirnya harus merasakan beberapa luka di kaki kiri ini.
Dimas dan Nadien yang melihatku terjatuh segera memakirkan sepedanya dan menghampiriku.
“dut lu kenapa? Ko tergeletak gitu?” Tanya nadien dengan panggilan yang khas padaku.
“lu ga papa dut?” ah… lagi-lagi Dimas ikut-ikutan Nadien memanggilku dengan panggilan itu. Dutty, adalah panggilanku dari sahabatku. Karena aku sedikit gendut saat masih berusia 9 tahun maka dari itu mereka memanggilku Dutty, walaupun aku sudah benar-benar tidak gendut lagi. Nadien juga memiliki panggilan yaitu Mutty, Nadien orangnya imut, kecil dan baik ini memang pantas di panggil itu. Sedangkan Dimas memiliki panggilan guppy. Kenapa? Karena saat kelas 1 SMP, Dimas sangat takut dan gugup untuk maju ke depan. Ada momen dimana dia dipanggil untuk memimpin menyanyikan lagu daerah, tapi yang terjadi celananya basah dan semua anak-anak tertawa. Hingga Dimas pun berlari ke kamar mandi dan menangis. Saat kejadian itu, Dimas sakit dan tidak masuk 2 hari. Aku dan Nadien sering ke rumahnya dan memberikan motivasi untuknya agar tidak gugup lagi. Dan sekarang dia sedikit berubah, sejak kelas 3 SMP ia sudah tak gugup dan malu lagi untuk berdiri di depan kelas, justru sekarang Dimas lah yang paling eksis di sekolah. Dia sekarang memiliki Band sekolah yang terdiri dari 4 anggota dan band nya sudah sering mengikuti even-even di sekolah.

3 KerabatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang