Senin pagi, jam diatas nakas terus berdering seakan menginginkan ku untuk membuka mata. Efek aku tidur malam karena harus bermain-main dengan Dimas semalam, hingga inilah dampak yang terjadi. Aku bangun telat 30 menit dari biasanya. Ibu mengetuk-ketuk pintu kamarku dengan tidak sabar. Aku tahu, ibu pasti sudah marah besar jika aku membuka pintu dan memasang wajah berantakan dengan rambut yang tidak beraturan. Untuk membuat ibu terdiam, aku hanya cukup jawab
"iya bu, aku sudah bangun ko. 30 menit lagi aku turun ya" kataku meyakinkan ibu.
Ku lihat jam weker itu dan betapa terkejutnya aku. Dengan cepat kumengambil langkah seribu menuju kamar mandi. Mandi, rapih-rapih dan memasukan buku pelajaran ke dalam tas. Saat memasukan buku pelajaran, aku baru teringat bahwa aku belum menyelesaikan tugas ku yang.
Akhirnya aku terburu-buru ke bawah dan membawa sepatu yang belum ku pakai. Di ruang tamu, sudah ada Dimas dan Nadien yang menunggu di sofa sambil memainkan handpone nya. Ayah, ibu dan kak Tyo sudah menungguku di meja makan. Di ruanag makan, aku hanya memakai sepatu dan minum susu buatan Bi Inah. Ibu menyarankan ku membawa sepotong roti untuk di sekolah dan ku turuti kata-kata ibu.
"Buru-buru banget sih lo, mau kemana emang?" Tanya kak Tyo yang sudah meneguk habis segelas susu.
"Ya mau sekolah lah kak, pake nanya lagi" jawabku yang sedang memakai sepatu.
"Biasanya juga, 15 menit lagi lu jalan, sekolah setempongan juga."
"Kaya ga tau siswa jaman sekarang aja kak, kalau datang pagi pasti ada maksud dan tujuan yang lain. Paham kan?"seru ku sambil mengangkat sebelah alis
"Hmm.. bandel nih anak. Yah, Mira belum kerjain tugas tuh yah. Masa libur 2 hari tugas belum selesai. Kelewatan lu mir. Gimana mau jadi penerus kakak mu ini yang sukses" seru kak Tyo menyombongkan diri. Kak tyo memang termasuk siswa berprestasi di sekolahnya dulu dan sekarang berhasil bekerja di salah satu perusahaan swasta yang berhubungan dengan eksport import sebagai staff manager.
"Mulai deh PD nya kelewatan batas. Udah ah males ngadepin kakak yang bawel kaya cewe. Lebih baik aku jalan sekolah sekarang. Dah ayah, bu, kak. Aku jalan ya. Assalamualaikum." Ku cium tangan kedua orang tuaku dan mencubit pipi kakak ku lalu berlari menuju ruang tamu yang sudah ditunggu Dimas dan Nadien.
Di perjalanan, Nadien dan aku cerita banyak tentang tugas yang belum sama-sama kami kerjakan. Dan Dimas hanya tertawa mendengar kami bercerita. Ada yang berbeda dengan Dimas pagi ini.
"Lu pakai parfume ya Gup?" tanyaku polos.
"Apaan sih, salah cium lu. Nadien kali yang pake" Dimas mengelak
"eh, apa-apaan nuduh gue sembarangan. Dut, lu tau kan wangi parfume gue kaya gimana?" Tanya nadien padaku.
"Iya-iya, gue hapal ko wangi parfumenya Mutty, dan ini bukan parfume nya mutty. Jujur aja udah Gup."
"Iya Gup, ga gentle banget sih ga mau jujur" desak Nadien.
"Kalian tuh, ada aja cara yang bisa buat gue ngaku. Iya gue pake.
" Kenapa? Mau minta?" tukas Dimas.
Aku dan Nadien tertawa lepas sepanjang jalan. Dan Dimas hanya terdiam dan terlihat wajah putihnya berubah menjadi merah. Dimas memang tak pernah memakai parfume apapun selama berangkat sekolah. Tapi kali ini, dia benar-benar berbeda.
Tiba kami didepan gerbang yang megah. Gerbang yang selalu kami temui selama 11 tahun ini. Gerbang permulaan tempat kami menuntut ilmu. Ku melangkah menuju kelas kami masing-masing. Saat ini, memang aku tak pernah sekelas dengan mereka. Aku kelas 11 A, Nadien kelas 11 D, dan Dimas kelas 12 B. Namun, kelas ku dengan Nadien tidak berjauhan, hanya saja kelas Dimas yang berada di gedung atas. Dan memiliki jarak dengan kelasku dan Nadien. Ketika memasuki kelas, ku melihat sekeliling. Ternyata teman-teman senasib denganku. Semuanya berkutik dengan buku tulis dan pulpen nya dan banyak sekali contek sana sini untuk dapat menyelesaikan tugas dari Bu Harti, guru matematika ku. Aku tertawa ringan dan duduk di sebelah teman sebangku, yaitu Ratih Kusuma Ningrum. Aku sudah mengenalnya sejak kelas 10, tapi baru kali ini aku dapat dekat denganya. Rumahnya pun masih 1 komplek denganku. Tapi, karena kepribadianya yang suka berdiam dan berteman dengan buku-buku, maka dari itu aku jarang sekali melihatnya. Berbeda sekali dengan kepribadianku yang selalu saja bermain-dan bermain bersama ketiga sahabatku.
KAMU SEDANG MEMBACA
3 Kerabat
RomanceSahabat membawaku pada Cinta. Namun, antara Cinta dan Sahabat membuatku semakin tak bersahaja. Karena semua persahabatan ini sudah melebur ke satu jiwa dan menjadi sebuah kata yang disebut "Kerabat"