3. Keanehan

2 0 0
                                    



           Di sela-sela tirai yang menutupi pemandangan terlihat Guppy yang sudah memakirkan sepedanya di halaman rumahku. Jalanan aspal yang basah serta rerumputan rumah yang masih segar tak dirisaukan Dimas. Ia tetap mau mengajak kami ke suatu tempat. Ia yang mengajak, maka pantang baginya untuk membatalkan. Ku turun dari kamar dan menghampirinya.

“Mutty mana gup? Ko lu sendirian?” Tanya ku heran yang nyatanya Dimas hanya sendirian di halaman rumahku.

“eh… tadi di panggil di rumahnya tapi ga keluar dut. Yaudah deh gua langsung ke rumah lu aja” jawaban yang masuk akal, tapi sedikit aneh.

             Seorang Dimas biasanya tidak mau main kalau partner mainya ga ikut, sebab dari dulu Dimas selalu bersama Nadien untuk dapat menghampiri rumahku.
“Aneh… Mutty biasanya pulang sekolah ga kemana-mana. Kalaupun pergi dia pasti bilang sama gue.” Kataku dengan memicingkan mata ke arah Dimas.


“Mungkin ketiduran kali dut. Udah ah, cepet yuk. Nanti keburu senja” Ajak Dimas yang ku balas dengan anggukan.
Di perjalanan, aku mempersilahkan Dimas mengayuhkan sepedanya didepan ku. Walau pada dasarnya aku tak mau di belakang, tetapi untuk kali ini aku mengalah. Karena yang tahu tempatnya hanyalah Dimas. Aku dibawa keluar komplek. Baru kali ini aku dapat bermain sepeda keluar komplek. Dulu, saat umurku masih 12 tahun, ayah selalu melarangku untuk bermain di luar komplek karena terlalu banyak kendaraan lalu lalang hingga perintah itu terbawa sampai  ku berumur 17 tahun. Dimas membawa aku dan sepedaku ke sebuah taman Anggrek yang berada di sebuah budidaya anggrek di dekat komplek kami. Dari dulu ia tahu, bunga yang paling ku suka adalah bunga anggrek. Bunga yang beragam warna dan terlihat menawan itu sudah menjadi tanaman ibuku sejak aku kecil. Dan aku akan menangis jika tanaman itu mati karena faktor cuaca. Namun, tanaman ibu dapat dihitung ragamnya dan aku belum pernah melihat Anggrek sebanyak ini. Dan kali ini, Dimas benar-benar membuatku senang karena telah membawaku pada sebuah pemandangan yang indah .

“1…2…3… Tadaa….” Seru Dimas sambil menyingkirkan tanganya yang menutupi mataku.

“Anggrek? Gup ini indah banget. Waw… gue belum pernah liat Anggrek sebanyak ini.”  Nada ku meninggi, dan Dimas tersenyum bahagia mendengarkan ku.

“Ini yang sebenarnya mau gue tunjukin dari minggu lalu ke lu, tapi ga sempat waktunya”
“Dari mana lu tau kalau disini ada Budi daya Anggrek?” tanyaku penasaran.

“Jangan panggil Dimas kalau gue ga tau apa-apa” Dimas menaikan dagu dan berlaku sombong.
Aku sudah hafal tingkahnya sedari dulu. Ku cubit lenganya dan ia meringis kesakitan. Ia berlari dan aku mengejarnya, ia membuatku terus dan terus berlari mengelilingi ratusan bunga Anggrek. Saat kami benar-benar lelah, aku duduk disebuah kursi taman yang sudah tersedia. Ku hapus rintikan keringat yang membasahi keningku. Tiba-tiba, sesuatu yang sejuk menempel pada pipiku. Saat ku buka kedua mata, Dimas sudah berdiri di depanku dan wajahnya berada hanya 2 jengkal dari wajahku. Aku terkaget dan memukul lenganya. Ia duduk disebelahku dan menjulurkan sebotol minuman yang dapat menghilangkan rasa dahagaku ini.

“Thanks Dim”. Ucapku sambil membuka tutup botol itu.

“Thanks doang? Cium dong” candanya dengan keadaan jari telunjuk menunjuk pipinya. Aku mengerutkan dahi merasa risih dengan ucapanya lalu kutempelkan botol minuman yang dingin itu ke pipinya.

“Nih cium nih, dasar otak mesum!” Kataku dengan gelak tawa.

“Ko tumben sih lu manggil gue Dimas, biasanya juga Guppy” Tanya Dimas dan menatapku. Namun, tatapanku masih menjurus ke depan melihat pemandangan Anggrek yang indah itu.

“Keceplosan aja, kenapa ?”

“Gapapa ko, entah kenapa gue lebih suka dipanggil Dimas sama lu”. Ucap Dimas dan berhasil membuatku menoleh ke arahnya.
   
            Dimas tersenyum manis dan menatapku dalam dalam. Aku hanya dapat menelan sisa-sisa air yang berada di mulut dan tak mau terus-terusan terhanyut dalam tatapan Dimas yang dapat membuatku terbawa perasaan. Sungguh, aku tak memiliki perasaan apa-apa kepadanya selain rasa sayang sebagai sahabat. Tetapi, aku juga wanita yang entah kapan saja bisa terbawa perasaan jika ditatap seperti itu.

“Pulang yuk, udah senja nih. Dikit lagi langit juga gelap.” Aku berdiri dan melemparkan air milik dimas ke arahnya.
Dimas berdiri dan membututiku menuju sepeda kami yang terparkir diluar taman. Selama jalan menuju rumah, kami baik-baik saja. Hanya saja, perasaanku mengatakan kalau Dimas menatapku dari samping dari awal kami mengayuhkan sepeda. Terkadang ia tak fokus pada jalan. Dan sering kali menoleh ke kanan melihat ku terus menerus. Aku merasa aneh denganya, tak biasanya ia bertingkah seperti ini padaku. Tak mampu juga aku bertanya langsung padanya. Aku wanita, hanya bisa mendapat jawaban yang pas tanpa bertanya. Karena wanita tak mungkin memulai duluan. Untuk menghindari perasaan yang aneh-aneh ku terhadap Dimas, akhirnya sepanjang jalan, aku terus mengajaknya bicara dan bertanya apa saja kepadanya demi mencairkan suasana yang sudah panas ini.


          Jam istirahat, tepatnya hari selasa di sekolah. Seperti biasa, aku selalu telat untuk makan di kantin. Ketika sampai di kantin, aku berniat ingin mengejutkan Dimas dan Nadien dari belakang. Tetapi, saat aku berada di belakang Dimas dan melihat ia sedang mengetikan sesuatu di smartphone nya, akhirnya kuurungkan niatku.


“Gue udah sampe ko gup. Ga perlu sms gue” Aku tertawa dan kedua anak itu menengok kearah ku. Terutama Dimas, yang dengan cepat menyimpan handpone nya di saku celana. Ia gugup karenaku.  Dengan cepat ku duduk di antara Dimas dan Nadien.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 11, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

3 KerabatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang