Ini cerita lama, saya tulis sekitar 2 tahun lalu. Tadinya mau saya bikin kumcer, tapi ditolak penerbit. Wkwk. Jadi saya unggah di sini aja deh.
.
.
."Hoy, Adit!" Aku refleks menengok saat seseorang memanggil dan menepuk bahuku. "Apa kabar, Bro?"
Ada jeda sejenak sebelum aku menjawab pertanyaan itu, antara kaget dan tidak percaya, "Roni?" seruku tak percaya. "Kabar gue baik. Lo gimana?"
"Gue juga baik, bahagia, sehat, dan sejahtera," jawabnya sambil tersenyum lebar.
Roni teman sekelasku ketika SMP. Kami tidak terlalu dekat, bukan sahabat karib, tapi aku mengenal baik semua orang di kelas.
"Lo berubah banget," ucapku jujur. Padahal dulu, dia begitu kurus dan kumal tapi sekarang Roni sudah berubah, dari kecebong menjadi katak dewasa.
Yah, pokoknya Roni sudah tumbuh dan terlihat lebih baik. Aku tidak mau mendeskripsikan detail-detail perubahannya. Tidak ada pria yang mau mengakui ketampanan temannya, apalagi menjelaskannya secara eksplisit.Pujianku membuat Roni tersenyum,"Lo juga berubah, ke mana itu kacamata Harry Potter?"
"Oh ... gue udah gak pake kacamata sejak kuliah."
Dulu, aku dijuluki Si Mata Empat karena memakai kacamata tebal. Modelnya bulat seperti milik Harry Potter. Ayah yang membelikannya. Ayahku penggila buku, dan menyukai tokoh fiktif ciptaan JK Rowling itu. Aku tidak menyukai modelnya, tapi aku senang dengan hadiah pemberian ayah, jadi aku tetap memakainya meski harus menahan malu jika dijadikan bahan candaan teman-teman sekelas.
Menanggapiku, Roni hanya ber-oh panjang sambil mengajak masuk ke dalam ruangan yang sudah disiapkan untuk acara. Reuni SMP kali ini, tidak hanya diadakan oleh angkatan kami, tapi juga dua angkatan senior.
Aku dan Roni mengobrol bersama dengan beberapa teman yang sudah datang. Sedikit mengulas kembali masa SMP, ketika kami masih mencari jati diri.
"Lo kerja di mana, Ron?"
"Di Jakarta aja, perusahaan otomotif gitu deh. Gue udah jadi supervisor sekarang," jawabnya bangga.
Aku antusias mendengarkan cerita Roni tentang pekerjaan. Turut senang melihat pencapaiannya sekarang, apalagi jika mengingat bagaimana sulitnya hidup yang dia jalani saat masih kecil.
Sesekali aku juga tertawa mendengar kelakar yang dilontarkan Andre dan Ardi. Dua sekawan yang selalu bersama sejak masih kelas tujuh--ternyata masih lengket sampai sekarang. Mereka benar-benar sahabat karib. Yang tidak mengerti bisa saja mengira mereka pasangan homo. Dan, tentu saja mereka tidak berubah, masih saja konyol dan usil seperti dulu.
"Gue kira ini bukan si Roni. Gila, berubah banget lo!" celetuk Andre entah untuk yang ke berapa kali.
"Iyalah, berubah dong. Get older, get better."
"Siapa yang nyangka Roni bakal sekeren ini? Lo suntik vitamin C?" tanya Andre sok serius.
"Maksud lo?"
"Kulit lo bisa bersih gini? Padahal kan, dulu kulit lo kayak barang diskonan, all item!"
Kami semua tertawa. Seharian ini, sepertinya Roni yang akan jadi bahan candaan kami.
"Hei." Sebuah suara lembut menyapa. Andre dan Ardi segera mengubah tawa-enggak-banget yang tadi terpasang di wajah mereka dengan senyum sok cool.
"Hei, Sarah," sapa Andre sambil bersalaman. Bahkan berani cipika-cipiki. Kerah jasnya langsung ditarik Ardi, yang tak sabar ingin melakukan hal yang sama. Kami menyapa dan saling menyalami bergantian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Happily Ever After
Short StorySebab cinta takkan ke mana. Dan pria takkan salah menemukan tulang rusuknya. Hak cipta dilindungi undang-undang. Mengutip, memperbanyak, memindahkan sebagian atau seluruh isi cerita ini dalam bentuk apapun dapat dikenakan sanksi. Cooyright © Lulu Sy...