Bagian 1 ::

85 16 5
                                    

Pandanganku padanya tidak dapat terelakkan, sekalipun PRku belum selesai. Apapun yang sedang kukerjakan terlebih jika dia belum meninggalkan tempatku berpijak saat ini, pasti tidak akan terselesaikan.

Tung... Ting... Tung... Jam pertama akan dimulai dalam lima menit.

"Cihh... Tidak tepat sekali! Wahai waktu? Kenapa kau tidak dapat memahamiku?" decak kesal keluar begitu saja dari mulutku. "Huh... Apa boleh buat?!"

7.40 AM

"Jamkos! Jamkos!" teriak kesenangan keluar dari mulut salah satu temanku, Grace.

"Sok tahu!" serobot sebagian populasi kelas.

"Beneran kok! Kata anak sebelah!" sahut Grace tidak mau kalah.

Spontan seluruh populasi kelas menari penuh kebahagiaan. Kebetulan sekali, aku mempunyai film bagus yang belum ditonton. Extranya, aku sedang membawa laptop. Dengan gerak cepat, segera kurogoh tasku mencari keberadaan laptop serta chargernya. Saat ditemukan, langsung kutekan tombol on off, dan mencari filenya.

Saat diriku sedang asik menonton, "Lindsey! Cepat Berdiri! Tengoklah jendela di sampingmu itu!"

"Apa? Apa?" jawabku tergesa-gesa.

Tanpa babibu lagi, segera diriku mengiyakan perintah temanku itu. Ternyata bola mataku mendapati dirinya sedang tepat di depanku, hanya saja dihalang oleh tembok dan kaca sialan ini. Dia melirikku. Refleks, aku memalingkan wajah dari hadapannya dan menari-nari seakan gerak tubuhku tidak terkontrol seperti rem blong.

Saat diriku sedang sibuk sendiri mengatur debar jantung, tanpa disadari keberadaannya sudah di belakangku saja.

"Hei, kenapa dia?" tanyanya pada teman-temanku.

"Ah, tidak tahu! Dia kan sudah gila! Haha.." celetuk Vero.

"Cihh... Sialan!" umpatku dalam hati. "Ah, saya tak apa!" jelasku padanya.

"Mmh... Baiklah, saya ingin menjelaskan sesuatu pada kalian. Jadi begini, blablabla...
... Jelas?"

"Oh, ya. Saya paham!" jawabku spontan. Padahal sudah jelas jika sejak tadi manik mataku hanya terfokus pada dirinya. Mungkin lebih tepat pada paras tampannya, bukan penjelasan yang diberikannya.

Tanpa kusadari, sorot pandang seluruh temanku yang semula dengan serius mendengar penjelasan darinya kini beralih menatapku intens. Menciptakan kekangan atmosfer luar biasa.

Aku tidak tahan lagi dengan tatapan itu. "A-apa?" tanyaku ragu.

Dia yang sudah puas menjadi penonton setia keanehanku, kini mengeleng-gelengkan kepala dan tersenyum sekilas.

"Kalau begitu, saya pergi dulu. Terima kasih jika berkenan membantu."

"Huh, sudah mau pergi saja? Aku belum puas melihatmu!" gerutuku dalam hati.

Mataku terus mengikuti pergerakannya keluar dari ruang beralas ubin ini. Memperhatikan punggungnya hingga menghilang dari jangkauan pandanganku.

Just YouWhere stories live. Discover now