Me

12 3 0
                                    


Semua tidak ada yang berubah. Aku menjalani rutinitasku sebagai anak kelas lima SD seperti biasanya. Bangun pagi-pagi, membereskan tempat tidur, mandi, bersih-bersih, mengenakan pakaian merah putih, dan sarapan pagi. Mama sudah siap meneriaki aku ketika belum juga melihatku selesai mengolesi selai strawberry kesukaanku diatas roti tawar. Dengan terburu-buru aku meneguk semua susu coklat yang sudah mama buatkan dan langsung berlari dengan tas yang disampirkan di bahu ke dalam mobil. Papa yang sudah menunggu dengan wajah gemas hanya bisa menggeleng dan pamitan sama Mama. Dalam perjalan ke sekolah aku sibuk melantunkan lagu "bintang kecil" dengan mulut penuh roti. Papa hanya menggoyangkan kepala mengikuti alunan suara cemprengku. Dengan bangga, hanya didepan Papa lah aku berani bernyanyi lantang. Dulu waktu aku mengikuti lomba bernyayi di TK, aku pernah salah menyebutkan nomor, dan om−si oprator VCD playernya menekan nomor yang kusebutkan, dan VCD sialan itu malah memutar lagu yang sama sekali tidak aku hapalkan. Begitu malunya aku ketika teman-temanku yang lain bersorak dan menertawakan kebengonganku diatas panggung. Semenjak kejadian itulah, hobiku yang dulunya menyanyi didepan orang, jadi hancur dan membuatku hanya bernyayi didepan Mama, Papa, Uni, dan Abang. Hanya mereka yang setia memujiku dan bertepuk tangan tanpa menertawakan (kecuali Abang dan Uni yang memang iseng membully adiknya sendiri).

Astaga! Setelah kulirik beberapa kali jam tangan ungu ini, ternyata sudah menjukkan pukul 7 tepat. Hobiku yang suka telat dan setiap hari senin harus upacara didepan gerbang sambil menggendong tas spongebob tidak boleh terulang lagi. Papa pasti kembali mengomeliku nantinya. " Pa, cepat. " aku berseru menyuruh Papa semena-menanya dan malah menerima omelan Papa yang panjang selama perjalanan yang cukup jauh dari rumah ke sekolah. Sudah kutebak, pintu gerbang sudah ditutup dari tadi dan upacara sudah berjalan separohnya. Setelah pamit, dengan langkah lemas aku berjalan menuju gerbang dan siap berdiri bersama yang lainnya didepan sana. Huh, sebenarnya harus seperti ini setiap hari senin itu membosankan juga dan bukan salah satu daftar kelakuan baik. Tapi mau bagaimana lagi, aku yang memang sering bangun kesiangan di hari senin harus menerima konsekuensinya. Kakiku yang mulai pegal-pegal karena berdiri langsung memilih duduk ditanah tanpa peduli rok ku yang bakal kotor. Rasa-rasanya dari tadi ada yang memperhatikanku dari arah kanan. Aku menoleh perlahan dan mendapati anak laki-laki yang kira-kira umurnya dibawahku menatap dengan tampang aneh. Aku memelototinya beberapa kali, tapi dia bergeming. Lalu aku melengos tanpa memikirkan dia lagi. Dan untungnya upacara sudah selesai dan aku diperbolehkan masuk, dan aku terbebas dari tatapan anak sinting itu. Pelajaran matekatika yang sudah kubenci dari dulu muncul di pelajaran pertama, walau begitu aku tetap bisa menjawab pertanyaan dengan lancar dan benar. Tapi karena aku ketahuan tidur ditengah-tengah pelajaran setelah puas menjawab beberapa pertanyaan, Ibu Merry mengusirku dari kelas dan menyuruhku tegak di luar kelas sambil menjewer kuping dengan tangan disilangkan dan berdiri dengan sebelah kaki. Sial sekali aku hari ini, walau aku menyadari semua itu kesalahanku sendiri, tapi aku tetap tidak ingin mengakuinya. Aku mulai tekantuk-kantuk dan tiba-tiba seseorang menendang kakiku pelan yang mengakibatkan aku jatuh kelantai seketika, lebay sih, tapi mau bagaimana lagi, aku yang saat itu tidak siap menerima tendangan yang tiba-tiba ya reflek terperosok ke lantai. Dengan kepala yang masih sempuyengan aku langsung mendongak dan siap mendamprat orang yang sudah dengan sengaja menendang kakiku. Tak kusangka, orang itu adalah anak sinting yang tadi pagi sibuk menatapku dengan pandangan aneh. Dan sekarang giliranku untuk memandanginya dengan pandangan ingin melahapnya seketika. Wajahnya yang misterius itu menatapku datar dan tanpa berkata apapun langsung berjalan pergi. Hebat, mungkin dia bisa baca pikiranku yang tadinya sudah siap mengomel sedetik sebelum anak laki-laki itu pergi. Tidak ambil pusing, aku langsung mengambar wajahnya di daftar orang yang aku benci karena aku belum mengetahui namanya dan tidak bisa menulikan namanya sekalian.

Jam pelajaran pertama berlalu dan saatnya jam keluar main. Dari anak kelas satu sampai anak kelas enam, mulai membanjiri kantin bersih dan elit kami. Berbagai jajanan di jajakan disana. Aku yang sudah siap memesan semangkuk bakmi terakhir yang keduluan oleh anak laki-laki yang membelakangiku sambil sibuk tertawa dengan sejenisnya. Ibu Mina bilang, aku keduluan dengan dia. Bakmi Ibu Mina yang terkenal seantero sekolah ini memang lebih cepat habis dari pada makanan lain yang dijual wanita paruh baya itu. Dengan kecewa aku akhirnya memesan semangkuk soto Banjar Bu Mina dan menunggu dideretan meja yang dipenuhi kakak-kakak kelas enam. Aku sadar ada beberapa dari mereka menatapku sinis karena sudah memasuki wilayah teritori mereka. Tapi aku cuek saja, toh aku tak mencari masalah. Kulihat Ibu Mina sudah siap memanggil nama ku dan memberikan soto Banjar ku.

Takdir KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang