Dingin sekali pagi ini. Aku jadi malas untuk mandi dan pergi sekolah. Tapi karena teriakan Mama yang menggelegar, aku terpaksa bangun. Setelah semua siap aku langsung berangkat sekolah. Pelajaran seperti biasanya kembali dimulai. Rasanya masa SD ini sungguh membosankan dan lama. Hah, aku bingung kenapa masa SD harus enam tahun. Melihat Ma'am Jasbicor sedang menjelaskan didepan membuatku termenung. Aku tau Ma'am Jasbicor bukan membenci ku, tapi dia sayang pada ku. Aku selalu kena marah dan mendapat nilai jelek saat ulangan bahasa Inggris. Padahal aku yakin, aku sudah benar mengisinya, tapi Ma'am selalu menceramahiku sampai kuping ku memantulkan omelannya. Ma'am Jasbicor itu keturunan India. Hidungnya mancung, disekitar matanya ada lingkaran hitam, dia memakai jilbab, dan tubuhnya kecil mungil. Anak Ma'am Jasbicor adalah teman sekelas ku. Anak itu manis banget, tubuhnya kecil seperti Ma'am. Namanya Feja, dia pintar bahasa Inggris, keturunan Ma'am. Astaga, sekarang aku malah asik membayangkan Feja hahahha kacau.
Aku tersadar dari lamunan ku, karena seruan Ma'am. " Zara. Zara! Lagi-lagi kamu melamun dan tidak mendengarkan Ma'am ya. " dari raut wajahnya aku tau Ma'am jengkel pada ku. Dan dri gerak-geriknya aku tau kalau Ma'am siap menyuruhku mengerjakan soal-soal yang di tulisnya dipapan tulis. Tanpa dikatakannya aku pun tau, maka dari itu, sebelum Ma'am bertambah jengkel aku langsung bergerak dan mengambil spidol yang ada di tangannya, lalu mengerjakan soal itu tanpa babibu. Setelah selesai, aku menyerahkan spidol kepadanya dan kembali ke bangku. Ma'am memperhatikan jawabanku. Alis matanya terlihat naik turun, entahlah aku yakin jawabanku salah lagi. Tapi sejurus kemudian wanita paruh baya itu tersenyum dan menoleh kepadaku.
" Bagus. Bahasa Inggris mu, mulai meningkat Zara. " pujinya. Aku yang tidak yakin malah bengong karena terbiasa dengan segala omelannya dan bukan pujiannya. Karena aku sama sekali tidak bergeming, akhirnya Ma'am berjalan menghampiri ku dan mengelus rambut ku pelan. " Anak pintar. " pujinya sekali lagi. Aku yang sadar bahwa itu memang benar-benar pujiannya, kontan tersenyum dan mengangguk. Lalu pelajaran kembali berjalan. Selama jam pelajaran Ma'am Jasbicor, aku sangat antusias dan fokus. Apa yang diterangkanya, kucatat dalam otak dan buku. Tanpa secuilpun yang tertinggal. Bel keluar main mulai berkoar. Aku membereskan buku-buku sebelum melangkah ke kantin. Ratih yang duduk sebangku dengan ku sudah menghilang entah kemana. Aku tidak tau kapan dia pamit keluar dari kelas, entah aku yang tidak mendengar atau Ratih yang lupa memberitahu aku.
" Zara! " aku menoleh ke sumber suara. Kulihat Tania melambai kearah ku dia menunggu di depan pintu bersama dengan... Dia! ya, Zharfan. Zharfan lagi. Apa maunya kali ini. Mataku memicing, menatap Zharfan. Yang ditatap malah masang wajah datar. Aku melangkah keluar kelas, menghampiri mereka.
" Ada apa, Tan? " tanyaku curiga.
Tania tersenyum. " Kenalin, ini Zharfan. Sepupuku, Ra. " Apaa!!?? Jadi Zharfan itu sepupu Tania, astaga aku nggak tau kalau cowok ini sepupu Tania. Dengan senyum terpaksa aku berjabat tangan dengan Zharfan.
" Zharfan. " katanya memperkenalkan diri.
" Udah tau. " gumamku pelan. Aku harap dia tidak mendengarnya. " Zara. " kataku kemudian. Dia tersenyum. Aku semakin curiga. Akhirnya aku pamit ke toilet sebentar sambil menyeret Tania ikut. Di dalam toilet aku menuntut penjelasanya, kenapa dia repot-repot ke kelasku hanya untuk memperkenalkan Zharfan yang notabene sepupunya.
" Habis dia nanyain kamu mulu, Ra. Aku bosen dengernya. Dia nanya aku kenal nggak sama kamu, kamu kelas mana, dia minta dikenalin ke kamu. Aku kan jadi gerah juga disamperin Zharfan mulu. " jelas Tania.
" Oke, oke. Terus apa tujuanya buat kenalan dengan aku? "
" Ya mana ku tau, Ra. Mungkin dia mau berteman dengan kamu. "
Aku tertawa, dan tiba-tiba terbayang wajahnya. Anak itu. Apa maunya. Kemudian aku dan Tania berjalan keluar toilet dan menemui Zharfan yang sedari tadi masih menunggu. Dari kejauhan dia tersenyum kepada ku. Dengan terpaksa aku membalasnya.
" Maaf Kak, aku tadi tiba-tiba kebelet banget. " kilah ku sambil nyengir. Dia terlihat salah tingkah dengan anggukan kaku. Aku harap dia sadar bahwa aku tidak ingin berurusan dengannya. Lalu kami sama-sama melangkah ke kantin. Ku perhatikan langkahnya yang tersendat. " Kaki mu kenapa, Kak? " Oh, kenapa aku yang memulai silaturahmi. Mulut ini, harus ku tahan agar tak berurusan dengan Zharfan, dan semoga dia tidak banyak bercerita.
Dia tampak berpikir sebelum menjawab, " Terkilir saat main sepak bola. " jawabnya santai. Lagi-lagi dengan wajah jahat itu. Mungkin maksud ku, bukan jahat yang 'itu', tapi 'jenaka' lebih tepatnya. Aku hanya tidak suka karena saat dia mengusili ku kemarin, wajah jenaka itu selalu mengiringi. Makanya ku sebut segala yang ada padanya itu 'jahat'. Aku hanya mengangguk meng-oh-kan. Sesampai di kantin Zharfan pamit untuk bergabung dengan teman-temannya. Aku sungguh bersyukur karena akhirnya bisa jauh dari Zharfan. Berada didekat Zharfan, serasa berada di sarang iblis. Astaga. Jahatnya aku, pikirku. Tapi mau bagaimana lagi, aku terlanjur benci padanya. Ternyata dugaan ku salah, dia kembali lagi. Dengan pasrah aku dan dua saudara itu langsung memesan tiga mangkuk bakmi Bu Mina dan tiga gelas teh manis. Seperti aku patung saja. Zharfan dan Tania malah sudah asik ngobrol berdua. Huh, mengesalkan. Aku pura-pura sibuk dengan semut merah yang bergerombol didekat botol saus sambil menggerutu, sengaja membuat mereka menoleh padaku. Tania yang mulai menyadari kebosanan ku langsung tertawa garing.
" Aahahaha, lama banget ya bakminya nyampe, Za. " dia berusaha bicara padaku. Aku hanya bergumam. Aku keburu kesal pada Tania. Padahal dia tau kalau aku paling tidak suka dicuekin. Tapi kali ini dia lupa dengan itu dan malah asik berbincang dengan sepupu tercintanya. Zharfan. Dia sukses menaikan nilai kebencianku padanya. Dengan watadosnya itu dia melirik dan cengir padaku. Dia kira aku senang melihat cengirannya. Salah. Itu salah besar. Aku melengos, malas melihat wajahnya.
Akhirnya bakmi kami datang juga. Aku segera melahap bakmi tanpa basa-basi. Kami makan dengan tenang. Huuh, Alhamdulillah kenyang. Aku berdo'a dalam hati, semoga apa yang ku makan dan ku minum menjadi daging dan tulang, aamin. Itulah do'a ku setelah makan. Menjadi daging, agar aku bertambah gemuk. Menjadi tulang, agar aku bertambah tinggi.
Tania lebih lambat selesai makan dari aku dan Zharfan. Gara-gara Tania, aku terpaksa membuka suara karena Zharfan bertanya terus pada ku, padahal aku tadinya bersyukur melihat Zharfan yang sepertinya tidak tertarik mengobrol denganku. Tapi aku salah.
" Za. Zara. " panggil Zharfan beberapa kali.
Aku terbangun dari lamunan ku. " Oh,ya Kak. Kenapa? "
Alis mata Zharfan naik sebelah. " Kamu melamun? "
Aku hanya menggeleng. Lalu pura-pura mendengarkan ocehannya. Dia banyak bercerita mengenai kegiatan futsalnya. Sesekali aku hanya mengangguk atau menggeleng untuk menanggapi. Zharfan terlihat sangat bersemangat ketika bercerita tentang hobi dan kesukaannya. Entah kenapa aku suka melihat wajahnya yang melembut ketika berbicara sampai nyembur-nyembur begitu. Dia terlihat begitu menikmati hidupnya, dia terlihat mensyukuri segala hal yang diberikan sang pencipta kepadanya, dia terlihat sangat tenang, dan.... awesome barangkali. Hmm, aku tak bisa menyangkal bahwa dia memang kakak kelas yang most wanted dan terlihat sangat cerdas. Gatis bibirnya yang panjang membuat senyumnya melengkung seperti bulan sabit ketika dia tersenyum. Matanya yang sipit selalu menghilang ketika dia tertawa. Semua itu serasa mimpi, melihat dia yang biasanya memasang wajah keras, dan sekarang dengan wajah yang lembut tanpa kerutan didahi. Dia...
" Za. Zara! Kamu nggak dengar aku dari tadi? " Zharfan menyikut lengan ku dan itu tiba-tiba membuat jantungku berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya.
" Ha? Oh, ah, a, aku dengar kok kak. " jawabku terbata-bata salah tingkah. Aku hanya nyengir dan menyuruhnya kembali bercerita. Kini aku sangat menikmatinya. Tapi itu tidak berlangsung lama, karena Tania yang sudah selesai makan, selain itu bel masuk juga sudah berbunyi. Lalu kami berpisah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Kita
Genç KurguMeeting you was fate Becoming your friend was a choice But falling in love with you was beyond my control [BASED ON TRUE STORY]