Irene & Junhong (Zelo)

61 7 1
                                    

Love is madness, the craziest thing I've ever done
I cried so much and I know this─
Love is Madness (15&)

.

Aku masih saja di sini. Berdiri di ujung koridor, menatap guyuran hujan di depan sana. Sedikit peduli pada sepatuku, aku mengambil langkah mundur hingga cipratan air tak mengenainya. Setidaknya aku berusaha tetap kering. Dengan suasana sendu seperti ini yang kusyukuri adalah aku tidak sendiri menunggu hujan mereda. Ada Seulgi yang juga lupa membawa payungnya di sampingku.

"Irene, menurutmu payung bercorak polkadot atau polos saja yang sebaiknya kubeli nanti?" Ah, dia masih saja membahas hal yang sama; payung baru. Kupeluk lenganku sendiri untuk menghalau dingin seraya menjawab, "Apa saja. Kusarankan yang warna oranye." Dia langsung tertawa semangat, "Benar, yang oranye! Kau benar-benar tahu seleraku." Beberapa tepukan ringan di bahuku sebagai ucapan terima kasihnya. Aku diam saja walau sebuah senyum tipis kulukis.

"Apa kita melewatkan kelas pertama?" Manikku jatuh pada jam tangan yang melingkari pergelangan tangan. "Kurasa hari ini tidak bisa les," ucapku seraya mendengus. Membuang waktu, tahu begini aku belajar di kelas saja sejak tadi.

Mencoba menghibur, Seulgi kembali menepuk pundakku, "Santai saja. Kepintaranmu tak akan berkurang hanya karena tidak ikut les sehari." Mau tak mau aku mengedik bahu. Dia ada benarnya. Mungkin sekali-kali aku harus mengambil istirahat. Tidak banyak-banyak, tentu saja. Ujian yang semakin dekat tidak bisa memberi toleransi, kan?

Baru saja aku menengadahkan tangan untuk menampung tetes hujan, sebuah suara menginterupsi. Bukan milik Seulgi, itu suara lelaki.

"Irene? Belum pulang?"

Aku tahu, lebih baik aku tidak menoleh sebelum mempersiapkan hati terlebih dahulu. Jadi aku tak perlu bertatapan dengan lelaki itu. Choi Junhong, seharusnya aku ingat jika ia selalu pulang terlambat seperti sekarang.

"Kami lupa bawa payung." Mungkin Seulgi gemas karena sebuah jawaban tak kunjung terlontar dari katup bibirku. Biar, deh, dia yang menjawab. Toh aku juga sedikit malas membuka bibir untuk Junhong.

"Oh, begitu." Junhong mengedar pandang, tak lagi berusaha menatapku. Yang kubenci dari Junhong adalah sikapnya yang biasa saja. Seolah hubungan kami yang telah berakhir bukan perkara yang dapat menyentuh kesensitifan hatinya. Aku benci Junhong masih mempertahankan sifatnya yang dulu. Seakan-akan aku yang berubah menjauh bukan hal yang perlu ia masalahkan.

"Junhong, kau bawa payung?" Lagi-lagi Seulgi bersuara, membuatku tak lagi menyedekapkan tangan di dada. Memainkan ponsel mungkin lebih baik sekarang. Tepat kala aku berhasil meraih ponselku di saku, Junhong membuka mulutnya.

"Aku cuma bawa jaket, hehe." Cengirannya masih sama, "Irene, hati-hati ya? Aku pulang dulu."

Dia begitu saja pergi, menggunakan jaket yang kujamin tak dapat melindunginya dari hujan. Meninggalkanku yang termenung dengan sebuah benda di tangan. Benda yang mendadak saja disesalkan Junhong dengan sedikit memaksa.

Payung cream dengan sedikit noda cat di salah satu tepinya. Payung yang pernah kami gunakan saat pertama kali bertukar kata; miliknya, tentu.

.

Sialan.

Junhong benar-benar tahu bagaimana cara membuatku ingin menangis seperti orang gila karena semakin sulit melupakannya.


Irene-Junhong version [End]

Blue SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang