1|| Kaina Selila Maisyani

55.5K 3.5K 56
                                    

Kaina Selila Maisyani

|•|

Akan aku lakukan apa saja agar jalan hidupku berjalan dan berkembang dengan baik. Selama ini, mungkin hanya kesakitan yang selalu aku dapatkan. Tapi tidak, meski entah apa yang pantas menggambarkan keluargaku... aku mensyukuri. Salah satunya berjuanh mencapai apa yang aku inginkan.

Belajar, walau mungkin saja aku tidak pernah diajari menjadi gadis yang benar. Aku belajar sendiri, tanpa ada tuntunan. Tidakkah seharusnya seorang ibu merasa was-was jika anak gadisnya tinggal sendirian di rumah? Atau, tidak cemaskah seorang ibu ketika putrinya hanya mengurung di kamar dan menghabiskan waktu di luar tanpa ia ketahui apa yang anak gadisnya lakukan di luaran sana?

Sepertinya itu hanya mimpiku. Karena aku memang tidak memiliki sosok ibu seperti itu, bohong... keluarga adalah sebuah kebohongan. Kenapa aku mengatakan demikian? Karena keluargaku memang tercipta dan berakhir akan kebohongan.

Diumur tujuh tahun, aku selalu mendengat ucapan-ucapan yang aku sendiri tidak paham betul apa maknanya. Ucapan yang kedua orang tuaku lontarkan, berujung pada bentakan, teriakan, makian, bahkan mengeluarkan kata paling sakral dan saat itu aku belum mengerti apa artinya.

Cerai.

Apa itu? Bukankah aku masih perlu banyak belajar? Tapi mengapa kedua orang tuaku mendorongku secara tidak langsung mempelajari kata tersebut? Apa aku perlu bertanya pada guruku di sekolah akan kata itu?

Heum... saat itu aku hanya mampu memendam. Hingga pada saatnya, aku memahami secara sederhana. Cerai artinya berpisah, itu konsep sederhana dalam otak masa kecilku.

"Hai! Kai, kenapa kamu sendirian di sini?" tanya salah seorang guru wanita, cantik. Memandangku penuh makna, senyumannya meneduhkan, bahkan aku tidak bisa melihat senyuman itu dari bibir ibuku. Dan nyatanya aku membandingkan sifat keibuan guru bernama Sera itu dengan ibuku—Sela.

Aku tidak menjawabnya, melainkan menghambur ke pelukan guruku itu.

"Kamu kenapa, sayang?" ibu Sera mengusap rambutku yang panjangnya mencapai bokongku, dengan warna hitam gelam.

"Bu guru, kenapa Mama dan Ayah cerai? Apa Kai bikin mereka marah? Kemaren Mama sama Ayah pisah, dan waktu berantem Ayah bilang cerai... kenapa Bu guru?"

Mungkin aku bodoh, dan memang kenyataannya begitu. Aku masih terlalu polos, hingga tidak sadar bahwa aku membuka aib keluargaku sendiri waktu itu.

Tapi seiring berjalannya waktu, aku memiliki sandaran. Guruku itu, ibu Sera. Dia selalu siap sedia menjadi tempat curhatanku jika aku membutuhkan. Dia mendengarkan dengan baik, memberi solusi, bahkan memberiku kasih sayang layaknya seorang ibu. Tapi aku masih mempertanyakan keadaan ibu Sera hingga saat ini. Kenapa dia menyendiri, dan menyimpan foto bayi dalam kamarnya.

Satu hari aku pernah menanyakan hal itu, diumurku yang ke lima belas tahun. Masih remaja tanggung memang, tapi secara tidak langsung aku dituntut memiliki sifat dewasa atas kejadian-kejadian dalam hidupku.

Bu Sera mengatakan jika dia pernah melahirkan seorang bayi, laki-laki. Bayi itu bernama Arjuna Jenateke Parvenandra. Dia menjelaskan bahwa ia pernah jatuh cinta pada seorang pria bernama Parvena, pria yang ternyata memiliki banyak kelebihan dan kekurangan. Parvena itu memang pria yang tangguh, tapi tentu saja tidak mampu melawan keluarga besarnya. Bu Sera dan Parvena saling mencintai tapi harus dipisahkan karena Parvena telah dijodohkan.

Meski keluarga Parvena tahu jika Arjuna adalah putra yang dilahirkan Sera, dengan paksa Arjuna diambil dan dipisahkan dari Sera.

Kisah cinta yang tragis, sekaligus dramatis menurutku. Sekarang, aku hanya bisa menontonnya dari serial drama, atau bahkan novel romantis jika ada kisah yang seperti itu. Tak apa, menurutku itu menyenangkan. Karena mendengar kisah orang lain mampu membuatku mencoba membayangkan masa depanku seperti apa nantinya.

"Bagaimana nasib ujianmu?"

Tumben sekali mama bertanya mengenai masalah ujianku, padahal aku pikir dia akan melahap makan malamnya dengan hikmat tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

"Udah selesai. Tinggal nunggu hasil kelulusan sama ngurus ijazah nantinya," kataku bersikap layaknya anak normal lainnya.

Yang kumaksud anak normal adalah dengan tidak bersikap ketus, dan tetap menatap wajah mama saat bicara.

"Kamu terusin?"

"Apa?"

"Pendidikanmu?"

Aku memilih diam sesaat, karena aku sendiri tidak tahu harus bilang apa. Jika saja dia bertanya 'kamu mau kuliah dimana? Nanti biar Mama bantu nyari' mungkin saja aku akan langsung menjawab, tapi sepertinya itu tidak akan terjadi.

"Liat nanti, kalo emang Kai harus kerja dulu dan fakum kuliah... Kai akan lakuin. Tapi Kai bakalan tetep kuliah." Akhirnya aku menjawab dengan tegas. Aku bisa mencari biaya kuliah sendiri, otakku tidak bebal seperti otaknya yang sungguh tidak memedulikan anak. Aku bisa usaha sendiri mencapai impianku sendiri. Meski tidak bisa muluk-muluk, setidaknya aku tidak dipandang sebelah mata akibat keluargaku yang sudah tidak utuh lagi.

Setelahnya, dia hanya mengangguk. Aku sadar dia ibuku, tapi aku tidak merasakan kehadirannya sejak aku lahir ke dunia. Dulu, aku lebih dekat dengan ayah. Tapi aku tidak pernah lagi mendengar kabar ayah. Seolah, dia benar-benar ingin meninggalkanku.

√√√√√

04.01.2017

DESIRE  ||Parvenandra series|| ✔ TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang