Part 1

22 2 0
                                    

Laki-laki itu terbaring, lagi. Dengan pembaringan yang sama, alat elektrokardiograf yang sama, juga dengan luka yang sama. Hanya ada satu perbedaan yang ada; seorang perempuan tengah tertidur dalam posisi duduk dengan air mata yang telah mengering di pipinya. Perempuan cantik dengan wajah blasteran Jawa-Jerman.

Thanks to her dad, yang memang orang Jerman asli.

Jika mata yang sedang tertutup itu terbuka, akan terlihat bola mata biru, yang akan membuat siapa saja terpesona dengan keindahannya. Perempuan itu juga memiliki hidung yang mancung serta bibir tipis turunan dari ibunya. Dan jangan lupakan lesung pipi yang dimilikinya, menambah kesan manis bagi dirinya.

Dengan tubuh yang mungil, orang-orang pasti mengira dia adalah adik dari laki-laki berwajah tegas yang tengah berbaring itu. Wajah mereka memang mirip. Biasanya wajah dua orang yang mirip bukannya saudara? Atau mungkin jodoh?

Tak lama kemudian, laki-laki itu sadar sambil meringis. Mengangkat tangan kanannya, kemudian melihat apa yang telah diperbuatnya. Tanpa disadari, perempuan cantik itu, yang sedari tadi tertidur di samping pembaringannya terbangun karena merasakan pergerakan yang ada .

"Kak Alvan? Kakak udah sadar?!" Perempuan itu bertanya dengan mata yang berbinar. Serta seulas senyum yang menawan.

Cantik. Ya, dia selalu cantik di mata Alvan.

Sesaat kemudian Alvan tersadar. Tidak, dia tidak bisa seperti ini terus. Alvan langsung mengubah ekspresinya.

Dingin.

Itu yang dilihat perempuan dengan lesung pipi itu. Senyum bahagia yang di tunjukannya seketika menghilang ketika mendengar perkataan laki-laki di sebelahnya dengan tangan terulur untuk menunjuk pintu kamar inapnya.

"Get out!" Tanpa aba-aba, ia langsung mengusir perempuan yang ada di hadapannya itu.

"Kak, tap—" Belum selesai perempuan itu berbicara Alvan langsung menyela.

"Alona. Keluar!" Alona—nama perempuan itu—langsung menunduk dengan mata yang terpejam.

"Kalo lo mau bahas soal itu, mending lo keluar sekarang. Gue nggak butuh penjelasan apa pun dari lo. Gue udah cukup kecewa sama apa yang lo lakuin ke gue." Alvan terdiam sejenak. Kemudian melanjutkan.

"Lo tahu, lo nggak perlu ikut campur sama masalah keluarga gue."

Alona menatap Alvan dengan kecewa.

"Bisa nggak sih, kakak ngerti sedikit aja gimana perasaan aku? Aku sayang sama kakak. Aku peduli.." Alona berkata dengan lirih.

"Aku cuma mau kakak berdamai sama masa lalu kakak." Alona menarik nafasnya.

"Ini," Alona menunjuk pergelangan tangan Alvan. "Kakak nggak tahukan? Seberapa sakit aku ngeliat luka-luka ini. Aku nggak mau kakak terus-terusan menderita kak."

Deg. Alvan terdiam.

Dengan nada yang dingin laki-laki itu berkata, "lebih baik lo pergi jauh-jauh dari gue. Dengan itu, gue nggak akan terluka lagi."

Hancur. Hancur sudah pertahanan Alona selama ini.

"Kalau memang kakak mau aku pergi, aku akan pergi kak. Maaf kalo aku yang udah buat kakak terluka selama ini. Tapi aku mohon, tolong damai sama masa lalu kakak. Aku pamit, permisi." Jangan lupa bahagia ya kak.

Alona keluar setelah mengambil tasnya yang ada di atas nakas. Alvan yang sedari tadi mendengar hanya bisa terus terdiam. Merenungkan semua kata-kata Alona, perempuan yang dicintainya dalam diam.

AkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang