Alvan yang sedang berbaring di pembaringannya tengah terdiam, terdiam memikirkan pernyataan beberapa jam yang lalu mengenai perasaan Alona terhadap dirinya. Sambil menenangkan degup jantung yang belum berhenti sejak tadi, Alvan terus saja membatin.
Tenang Van, tenang. Lo tuh seharusnya seneng kalo Alona sayang sama lo. Itu artinya perasaan lo selama ini nggak bertepuk sebelah tangan.
Tapi, Alvan juga kepikiran; gimana kalo Alona cuma kasihan sama lo? Dia kan udah tahu semuanya?
Aarghh. Rasanya Alvan ingin mati saja memikirkan persoalannya dengan dia dan Alona. Bolehkah kalau Alvan mati sekarang? Dosakah ia?
Memang, hanya dirinyalah yang mengetahui perasaannya pada Alona. Bahkan Alona sendiri pun tidak mengetahui bahwa Alvan tidak hanya menganggapnya sebagai teman. Tapi, apa yang dilakukan Alona kemarin memang membuat Alvan sangat kecewa.
Untuk apa perempuan itu menyusun rencana untuk mempertemukan dirinya dengan mamanya. Atau masih pantaskah wanita itu disebut sebagai mamanya? Alona tidak tahu apa-apa tentang dia dan keluarganya. Dan memang, Alvan tidak ingin Alona tahu lebih lagi.
Dengan pikiran yang berkecamuk, tanpa sadar Alvan mengambil pisau buah yang diletakkan di atas nakas. Ia mendekatkan pisau itu pada pergelangan tangan kanannya.
Sedikit lagi Van, sedikit lagi kita akan terbebas dari semua masalah yang ada dan rasa sakit yang seharusnya lo terima.
Sebuah suara terdengar di dalam kepala Alvan. Alvan menggelengkan kepalanya, menghapus pikiran jahat yang ada. Ia sadar, semua ini tidak akan selesai dengan kematian. Yang ada, Alona akan semakin sedih karenanya dan tentu saja Alvan tidak menginginkan hal itu terjadi. Ia hendak menjauhkan pisau itu dari tangannya.
Terlambat. Entah mengapa tangannya seperti memiliki kekuatan sendiri untuk bergerak.
Dan memang terlambat, saat dia—atau Alvan lebih sering menyebutnya Revan, tengah menggores permukaan kulit tangan kanannya. Membuat pergerakan memanjang kemudian menekannya lebih dalam hingga tangannya mengeluarkan tetes-tetes darah.
Alvan tengah menyeringai, merasakan seluruh rasa sakit dan perih yang bercampur pada darah di tangannya. Revan terus saja menekan pisau itu hingga ia menemukan nadi Alvan.
Ini dia. Ini dia organ bodoh yang selama ini dicarinya. Organ yang jika ia gores sedikit lagi saja, semua rasa sakitnya akan menghilang. Tentu juga dengan seluruh masalah Alvan. Bukannya Revan jahat. Tetapi, ia hanya ingin membebaskan dirinya dan Alvan dari semua hal yang mengancam mereka.
Saat Revan hendak menggores nadi Alvan, pintu tiba-tiba terbuka. Menampilkan wajah kaget sang dokter yang hendak mengecek kondisi Alvan. Buru-buru Dr. Julian—dokter pribadi Alvan selama ini, mencabut pisau yang menancap di pergelangan tangan Alvan, meninggalkan sang empunya tubuh kehilangan kesadarannya.
Ah, Revan. Di mana Revan?
Tidak. Revan tidak meninggalkan Alvan sendirian kok. Buat apa ia meninggalkan Alvan jika memang dari tadi tidak ada seorang pun di kamar Alvan kecuali Alvan sendiri?
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku
Teen FictionJika memang kau menginginkanku untuk pergi, baiklah aku akan pergi. Tetapi satu hal yang aku minta darimu. Jangan lupa untuk selalu bahagia. Dengan itu, aku bisa pergi dengan tenang.