Lisa, perempuan penjual bunga itu, masih berdiri di ambang pintu.
Pot-pot bunga miliknya berjejer di halaman. Sementara senja, terus condong menuju kepulangannya. Lisa terus memaku diri dan menciptakan lamunan yang abadi. Ia membayangkan bunga-bunga masih akan terus tumbuh di sekitar Parque Salazar kecuali jika tangan-tangan usil yang singgah di taman itu tidak memetik tangkainya atau menginjak hamparan bunga yang tumbuh di Milaflores.
Hal itulah yang membuatnya terus bersemangat untuk hidup, bertahan dari penyakit yang telah dideritanya selama dua tahun.
Tidak itu saja, setiap malam ia menghabiskan waktu duduk di tangga batu dekat tepi pantai. Katanya, ia menantikan sebuah kapal yang akan membawa ayahnya pulang dari melaut.
Bahkan, ia selalu berharap agar Tuhan mengembalikan ayahnya yang telah berlayar hampir empat tahun. Sementara ibunya, Lisa jadi teringat dengan kalimat yang dengan jelas ia dengar dua setengah tahun lalu; kau jangan kemana-mana, anak tak tau diri! Diam di rumah dan tunggu sampai ibu pulang.
Kalimat itu ia dengar ketika ibu sedang merias wajahnya di depan cermin. Kemudian, sejak malam itu, ibunya tak pernah kembali lagi.
Di dalam rumah, Lisa hanya sendirian.
Baginya, menjadi penjual bunga adalah kehidupan yang menyenangkan. Kadang sesaat, ia berpikir untuk tetap bertahan di Quebrada agar ia dapat menjual bunga-bunga yang masih segar di sekitar pantai atau Terrazas. Di tempat itu, ia akan menemukan orang-orang yang sedang jatuh cinta lalu mereka akan membeli setangkai bunga untuk pasangannya. Bunga segar tersebut dijual Lisa setelah berhari-hari ia perhatikan di dalam pot dan ia percaya bahwa kelopaknya telah merekah dan siap untuk dijual.
Walaupun sebenarnya Lisa belum pernah merasakan jatuh cinta kepada seseorang atau sebaliknya tetapi ia memiliki kerinduan yang dalam kepada ayahnya. Sampai sekarang pun kerinduan itu masih terus tumbuh. Kerinduan yang akan memupuk rasa cinta menjadi teramat dalam. Oleh sebab itu pula, telah bersemayam keyakinan yang abadi di dalam dirinya. Setiap malam ia akan menantikan kapal milik ayahnya bersandar di tepi pantai. Kapal dengan layar utama, layar pembantu, pucuk kapal, pelampung, sekoci dan warna bendera yang sangat akrab dalam ingatannya. Maka ayahnya akan berkata; halo nak, ayah membawa banyak ikan. Juga salmon kesukaanmu. Ayo kemari, peluk ayah.
Begitulah impian dan harapannya. Keyakinan benar-benar telah tumbuh dan abadi di dalam dirinya. Sementara, setiap kali ke bibir pantai, ia selalu menyaksikan gulungan ombak menjilat kakinya dengan lembut, menghantam dinding batu dan mengikisnya. Dan seperti sesuatu yang mustahil jika ayahnya akan kembali.
Pernah suatu ketika badai kencang dan gelombang tinggi melanda Milaflores. Ketika itu, saat badai dan gelombang benar-benar telah mencapai puncak kejayaannya, Lisa berlari menyusuri Avenida Pardo dan Avenida Grau yang berliku dan lengang. Ia menuju tangga batu dekat tepi pantai dengan setangkai bunga yang sebagian kelopaknya telah lepas. Ia berdiri disana.
"Ayah, ayah, ayah! Aku membawa setangkai bunga segar untukmu." Ia berteriak. "Ayah lihatlah! Lihat." Dan seketika itu, teriakannya ditelan suara ombak dan badai. Walaupun demikian, ia tetap percaya bahwa ombak akan mengantarkan ayahnya pulang.
Begitulah.
Kemudian ia tersentak dan tersadar bahwa matahari telah menghilang ditelan bangunan di kawasan Parque Central. Saatnya bagi Lisa menutup pintu dan menghabiskan malam dengan kesendiriannya. Sebentar kemudian, ia sempatkan untuk menghitung dan memperhatikan bunga-bunga di dalam pot di depan halaman rumahnya.Di waktu malam, pekerjaan yang sering ia lakukan adalah memilah kelopak-kelopak bunga yang tidak terjual untuk dibawa ke pemakaman. Kadang, orang-orang akan membutuhkan kelopak-kelopak tersebut ketika salah seorang keluarga, kerabat atau saudara jauhnya telah meninggal dalam waktu beberapa hari. Seketika itu, Lisa menangis tersedu-sedu kemudian ia akan teringat orangtuanya.
Begitulah perasaannya, ia membayangkan kematian orang tuanya. Ia akan merasa nyaman bila ia dapat memastikan bahwa orangtuanya itu masih ada dekat di sampingnya walaupun harus dalam keadaan tidak bernyawa. Maka, ia dapat menyiram pemakaman ayah dan ibunya itu dengan air suci lalu ia akan menaburnya dengan kelopak-kelopak bunga yang ia pilah setiap malam. Kemudian, ia akan bercerita sendirian di samping makam-makam itu sampai bosan.
Bayangan itu terus berkelebat setiap malam terutama setiap kali ia memilah kelopak bunga berwarna merah. Ia terus tersedu sampai tertidur.***
Hal yang membuatnya sampai tersungkur jatuh, terjerembab dari atas kasur dan merintih sambil menekan perutnya hingga bibi Hilda harus datang menolongnya adalah ketika penyakit kronisnya kumat lagi. Dan pagi ini, hal itu terjadi lagi. Bibi Hilda¯tetangga satu-satunya yang paling akrab dengan Lisa¯datang setelah ia mendengar jeritan Lisa sampai ke telinganya. Lalu, seketika itu, bibi Hilda bergegas membawa Lisa ke rumah sakit terdekat.
Beberapa hari setelah dokter mengizinkan Lisa untuk pulang, bibi Hilda kembali menyarankan agar Lisa berkenan tinggal bersamanya dan berhenti menjual bunga. Sama seperti jawaban sebelumnya, Lisa tetap menolak penawaran itu karena ia tidak ingin meninggalkan pekerjaan yang sangat disenanginya selama ini. Namun demikian, bibi Hilda tetap terus memberlakukan penawaran itu.
Ketika kondisi kesehatan Lisa mulai membaik, ia dihadapkan oleh pengakuan dari seorang nelayan yang secara tiba-tiba datang ke rumahnya. Nelayan tersebut tidak lain adalah laki-laki yang sepulang melaut sering menukarkan seekor ikan salmon miliknya dengan setangkai bunga yang dijual Lisa. Laki-laki itu mengatakan bahwa ia telah mendapat kabar gembira dari pulau seberang¯yang kira-kira jaraknya sepuluh kilometer dari bibir pantai. Ia menjelaskan dengan sejelas-jelasnya bahwa seseorang telah menemukan ayah Lisa dalam keadaan hidup dan berlayar dengan kapal yang sama persis dengan kapal yang dinahkodainya hampir empat tahun lalu.
Sungguh! Ayah Lisa akan pulang dalam waktu dekat.
Lisa mempercayai apa yang dikatakan nelayan itu. Ia tidak akan berkesimpulan bahwa laki-laki itu adalah pembohong besar. Lalu, ia memberikan beberapa tangkai bunga yang segar kepada laki-laki itu.
Barangkali benar bahwa penantiannya tidak akan sia-sia. Hati kecilnya selalu punya keinginan kuat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang hampir mustahil untuk dijelaskan dengan akal sehat. Ia akan bercerita kepada bunga apabila ia merasa orang lain tidak akan mempercayai ceritanya. Ia akan berteriak kepada ombak untuk menyampaikan kerinduan yang dalam dan membuncah kepada ayahnya.Kepada bunga. Kepada ombak. Ia akan terus menyatakan isi hatinya.
Akhirnya, pada suatu ketika dimana badai kencang dan ombak bergejolak. Juga hujan deras. Lisa mulai gelisah. Malam itu matanya tak mau terpejam. Kemudian ia teringat penjelasan nelayan itu. Ia yakin bahwa laki-laki itu tidak akan berbohong kepadanya. Dan, dengan segera, ia membunuh pikiran buruknya.Ia meloncat dari tempat tidur dan bergegas keluar. Sesaat itu pula, ia menerobos hujan dan menyusuri jalan. Menyusuri Avenida Pardo dan Avenida Grau yang berliku dan lengang. Sebentar kemudian, ia sampai di tangga batu dekat tepi pantai dengan setangkai bunga¯yang kelopak-kelopaknya telah lepas¯dalam genggaman tangannya. Ia melepas pandangan ke segala penjuru. Seketika itu, rasa sakit menjalar di tubuhnya. Ia merintih dan menekan perutnya yang sakit sambil tetap terus mempertahankan pandangannya.
Kemudian matanya tertuju pada sesuatu yang bergerak di laut. Sesuatu dengan lampu sorot yang menyilaukan. Di dalam terpaan hujan, badai dan ombak, ia terus memperhatikan sumber cahaya tersebut. Walaupun samar-samar, ia dapat melihat dengan pasti sesuatu dengan layar utama, layar pembantu, pucuk kapal, pelampung, sekoci dan warna bendera yang sangat akrab dalam ingatannya.
Itu sebuah kapal!
Sayup-sayup ia pun mendengar; "turunkan sekoci! Turunkan! Bawa ikan-ikan salmon itu turun".***