The Cage

27 1 0
                                    

Pikirkanlah sebuah padang yang luas, berbukit-bukit, dan dipenuhi bunga matahari yang tengah mekar. Sudahkah ? Lalu kau tiba-tiba berdiri di tengah-tengah kota mati yang dipenuhi puing-puing bangunannya. Tak perlu repot-repot memikirkan bagaimana kota itu menjadi lautan puing. Yang penting tiba-tiba kau berada di sana, seorang diri. Bisakah kau mencium bau asap dari reruntuhan itu ? Nah, sekarang melompatlah ke puncak gunung yang berselimut salju. Biarkan suhu dingin menusuk-nusuk syaraf kulitmu. Tapi cobalah melupakannya, tanpa berhenti memikirkannya. Bisakah ? Pikirkan saja bahwa puncak gunung itu memang dingin, amat dingin. Tapi sekaligus pikirkanlah bahwa kau melupakannya hingga tak merasakannya. Pandanglah sekelilingmu. Tidakkah kau lihat barisan barisan punggung pegunungan yang tajam dan berselimut salju ? Samar warna biru mengambang seperti tabir antara penglihatanmu dengan pemandangan indah itu. Kau berdiri di sana, kedinginan tanpa merasakannya, dan menatap pegunungan bersalju menelilingimu, seolah tanpa batas. Apa perasaanmu ? Apakah seperti yang kurasakan?

Satu lagi, kawan. Kali ini biar kau sendiri yang melukisnya. Pikirkanlah tempat dimana ujung seluruh mimpimu berada di sana. Dimana cinta, kedamaian, harapan, dan cita-citamu menyata di sana. Gambarlah, rangkailah, dan sempurnakanlah ia dalam angan-anganmu. Ya, hanya di angan-anganmu saja, kawan. Bisakah kau melukiskannya sejelas kau benar-benar melihat, merasakan, dan membauinya? Bisakah kau melakukannya secepat kau membacanya?

Itulah aku, dan duniaku. Setiap hari, setiap kali menginginkannya, aku akan berada di sana. Di tempat manapun aku menginginkannya. Menyenangkan bukan, kedengarannya? Kau tahu mengapa?

"Ve, cepat cuci piring! Pagi-pagi begini nyaman untuk mengerjakan pekerjaan rumah!" seru ibuku dari dapur.

"Kau dengar itu, kawan? Karena aku selalu berada dalam ruang berpenghuni enam orang-orang tua, aku, dan ketiga adikku – yang bernama rumah ini. Selama aku tidak menginginkannya, disinilah aku berada. Semua tempat yang kukunjungi, dalam duniaku tentu saja, begitu menyenangkan juga menyedihkan. Kutatap tumpukan cucian yang belum dilipat sejak kemarin. Tiba-tiba aku merasa begitu lelah. Padahal aku hanya menatapnya. Semua rutinitas ini membuatku bosan, mengikis diriku perlahan-lahan. Diam-diam aku mati. Gejolak dalam darahku mulai terasa tenang. Apa aku sudah tak berjiwa lagi?

Kubersihkan peralatan dapur dengan sekenanya. Teringat pada adik-adikku yang berada di sekolah, pikiranku semakin kusut. Aku rindu dimarahi Bu Ruk (sebenarnya nama asli beliau adalah Rukmini, namun ia akrab disapa Bu Ruk. meski begitu, beliau samaskali tidak marah karena panggilan aneh dari para muridnya. ) guru kimiaku, karena tidak mengerjakan tugas meski sudah dua minggu bertengger manis di bukuku. Aku rindu kelabakan berangkat sekolah karena terlambat dan akhirnya tetap saja terlambat meski sudah mengenakan jilbab sambil berlari. Aku rindu rasa pening memahami fisika yang sering kurutuki tetapi kukagumi amat sangat. Aku rindu teman-teman sekolah yang kompak dalam kejahatan - seperti membuat guru lupa akan PR yang diberikannya - dan pecah belah dalam kebajikan - memperhatikan pelajaran dengan sungguh-sungguh - karena sebagian dari kami malah terbang ke dunia antah-berantah. Entah karena melamun atau tidur. Aku kelompok yang terakhir.

"Nanti selesai cuci piring, rumahnya disapu ya!" seru ibu lagi, kali ini dari halaman samping.

Ternyata aku sudah lulus SMA. Karena belum bisa kuliah, maka di sinilah aku. Di rumah berisi enam orang yang mungil dan, maaf ayah, ibu, membosankan. Bukan, sama sekali bukan karena rumahnya. Tetapi, pahamilah kawan. Aku ini seperti kijang bila dilepas ke hutan. Aku selalu punya energi untuk melakukan apapun, apapun kawan. Dan ketika tidak ada yang bisa kulakukan dengan bebas di rumah ini - ketahuilah, ayahku memingitku - energi itu memberontak dalam bentuk rasa bosan teramat-amat sangat.

"Nak, itu sekalian baju-bajunya dilipati. Biar rapi rumahnya." Seru ibu, sudah di ruang tamu sambil sarapan. Dan lagi-lagi dengan seenaknya menyela monolog sunyiku.

The CageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang