Kesempatan datang saat kita butuh, terkadang kita juga perlu menjemput kesempatan itu sendiri.
🌼
Udara terasa menguap hebat, peluh senantiasa meluncur membasahi seragam putih abu-abu yang sudah di kenakan kurang lebih dua tahun, kantung mata Zenna semakin tebal dan menghitam, mirip seperti mata panda.
Foto Bapak presiden, Wakil Presiden, dan burung garuda yang terletak diatas papan tulis itu senantiasa tersenyum manis memperhatikan, sedang siswa lainnya memutar bola mata malas, menunggu jam istirahat yang tak kunjung berdering.
Meski begitu, mata Zenna masih tetap berfokus pada Bu Ratna yang menerangkan pelajaran matematika yang bagi Zenna sangat mengasyikkan, tapi entah bagi yang lainnya. Persepsi tiap orang kan berbeda.
Zenna mencoba mengerjakan beberapa soal demi mendalami materi. Jika hanya teori saja bagi Zenna belum cukup, ia harus banyak berlatih soal-soal, agar lebih paham.
"Serius banget nulisnya, yang lain pada enak-enakan tidur, nah lo masih setia dengerin bu Ratna yang lagi ceramah pake bahasa alien," kekeh Bara dengan wajah yang masih ditelungkupkan di kedua tangannya yang ia sandarkan di atas meja.
"Dan ya, kamu pasti juga tau kan kewajiban siswa itu apa? Belajar. Bukan males-malesan ndak jelas kaya gitu," tukas Zenna diiringi dengan senyum kecutnya, masih tetap melanjutkan menulis materi yang tertera di papan. Tak sadar bahwa ia telah merespon omongan Bara.
"Duh Zenna, tapi lo itu keterlaluan rajinnya, andai gue bisa ketularan virus rajin lo," kali ini Bara tersenyum lebar, lantas senyumannya kian mengendur.
"Mama kemarin marahin gue gegara gue cuma dapet peringkat dua. Mama tuh nggak pernah bangga punya anak kaya gue. Gue selalu di bandingin sama adik gue yang aktif ngerampok piala menteri pendidikan dan kebudayaan."
Zenna tetap diam. Tak satu kata pun keluar dari mulutnya. Eh? Kenapa Zenna malah melamunkan Nathan? Ini salah. Sejak kapan dia bisa sedekat ini dengan Bara? Bahkan Bara dengan rela mencurahkan keluh kesahnya padanya? Bagaimana jika ia membeberkan rahasia Bara? Bara percaya padanya? Ini keajaiban.
"E-Eh?" hanya satu kata yang keluar dari mulut Zenna saat itu. Matanya mengerjap beberapa kali.
"Eh-F G H I J K L M N? Masa gue ngomong sepanjang rel kereta, lo balesnya cuma sepanjang gulungan pita?"
Zenna meneguk salivanya ke kerongkongannya yang kering, ia masih tak percaya.
"Lo kenapa sih?"
"Gapapa."
"Gue ngerti kok apa yang lo rasain, gue tau karena gue pake bahasa batin,"
"Bahasa batin? Bahasa yang gimana ya?" tanya Zenna dengan polosnya.
"Gelombang hati kita itu sebenernya saling menyambung, dan saat hati yang satu sakit, hati lainnya juga ikut sakit. Gue tau kok kalo lo nggak punya temen dan ngerasa kesepian banget," terang Bara, "Gue pengen jadi temen lo mulai hari ini,"
"Temen? Kamu mau jadi temen aku?"
"Gue mantan bookwarm, sekarang udah males buka buku cerita, apalagi buku pelajaran. Terlebih orang tua yang nggak pernah dukung. Gue.. masih bisa jadi temen lo kan? Menurut rumor lo cuma nerima temen sesama kutu buku aja,"
"Enggak kok. Justru aku ngira semua anak disini nggak mau temenan sama aku gara-gara aku absurd," Zenna memang memutuskan untuk berbahasa aku-kamu sejak Mika meninggalkannya.
"Eh? Absurd? Lo itu lebih ke horor orangnya, kulit putih dengan lingkaran hitam di mata, sama kacamata lo itu, malah nambah kesan horornya kelihatan banget," bantah Bara sambil sesekali mengibaskan buku tulisnya sebagai alternatif pengganti kipas angin.
KAMU SEDANG MEMBACA
You'll Never Walk Alone
Teen Fiction[New Version] Remaja perempuan bernama Zenna. Selama tujuh belas tahun hidup, terus saja memberi tapi ia tak pernah diberi. Selalu berbuat baik, tapi ia jarang diperlakukan dengan baik. Zenna serasa tenggelam dilautan, tanpa kawan. Dan sosok itu, G...