Dibalik Balutan Luka

70 4 3
                                    

Serangan udara yang dilancarkan zionis Israel akhir-akhir ini semakin membabibuta. Yang kutahu dari siaran berita di televisi, penyebabnya karena tiga pemuda Israel dinyatakan mati dibunuh di kawasan Palestina. Menurut tuduhan mereka, pasukan Hamas lah yang menyandera para pemuda itu. Ah, geram sekali aku mendengarnya. Apalagi, setelah aku tahu kalau korban terbunuh dari serangan mereka tak kurang dari 160 warga Palestina.

Masjidil Al-Aqsha pun kini juga telah di boikot para tentara biadab itu. Yahudi menyebutnya sebagai “Temple Mount” dan mengklaim daerah itu sebagai tempat berdirinya dua kuil Yahudi pada masa lalu.[1] Masya Allah… sepertinya mereka pura-pura lupa kalau ini bulan Ramadhan.

“Ada kabar baik apa untuk negara kita, Palestine?” Ibu yang sedang sibuk menyiapkan makan untuk berbuka menyapaku saat baru pulang dari kamp pengungsian yang tak terlalu jauh dari rumah. Ibu tahu, hanya di kamp lah televisi bisa menyala karena dekat dengan sumber listrik. Selebihnya, listrik dipadamkan.

“Seratus enam puluh mujahid baru, Bu. Paman Amir salah satunya…” kataku sambil membuka kerudung dan berjalan menghampiri Ibu.

Sepertinya persediaan makanan kami hampir habis. Makanan yang kami punya ini pun datangnya dari saudara muslim kami di berbagai belahan dunia.

Ibu tersenyum, “Alhamdulillah…”

Tak dapat disembunyikan guratan kesedihan di wajah Ibu yang berusaha tegar. Bagaimanapun, hanya Paman Amir satu-satunya saudara kandung terakhir yang Ibu miliki. Sama seperti aku dan kakakku, Ahmed. Sementara adikku, Ali, telah mendahului kami saat ada serangan di dekat sekolahnya dua bulan kemarin. Lalu ayahku? Ia menghilang setahun ini, entah dimana keberadaannya. Semoga saja kini ia menjadi salah satu bagian tentara Hamas dan berjihad bersama tentara Al Qassam seperti impiannya.

Ya, ayahku lah yang selalu menanamkan kecintaan keluarga kami pada negeri Palestina. Tanah ini milik muslim dan kita harus perjuangkan, katanya. Ia tak pernah sedikitpun lelah mengobarkan semangat untuk terus berjuang saat kami mulai rapuh mendapati satu per satu saudara dan sahabat kami pergi mendahului.

Aku ingat nasehat terakhir ayahku sebelum ia pergi meniggalkan kami tanpa jejak, “Berjuanglah untuk negaramu, Palestine! Mereka bisa saja membunuhmu, kapanpun. Tapi kau jangan takut, jangan pernah gentar jalankan amanat mulia ini. Kalaupun kau harus mati, ingatlah kalau Allah yang akan menyambutmu dengan cinta-Nya…”

“…Tanah Palestina adalah hak umat Islam. Mereka telah berjihad demi kepentingan tanah ini dan telah menyiraminya dengan darah mereka. Selama aku masih hidup, aku lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku daripada melihat tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Daulah Islamiyah. Perpisahan itu tidak akan terjadi!”[2]

Benar-benar mengobarkan semangat, kan?

***

Aku mendengar banyak suara rintihan disini, sekejap setelah aku tersadar. Suasana kacau. Banyak orang berseragam putih mondar-mandir dalam penglihatanku, sibuk membantu mereka yang menangis pedih meminta pertolongan. Aku mencoba menggerakan tubuh, rasanya remuk. Perlahan tapi pasti, perasaan nyeri di sekujur tubuh mulai terasa. Lebih-lebih di bagian betis kananku. O Allah, ada apa ini?

“Kamu sudah sadar, Nona?” kata seorang wanita yang menghampiriku. Wajahnya besembunyi di balik masker berwarna hijau muda. Aku langsung bisa menebak kalau ia seorang suster yang bertugas di rumah sakit darurat.

“hh..” aku melenguh menahan perih, “Aku…”

“Jangan banyak bergerak dulu, kamu baru sadar dari pingsan dan keadaanmu luka parah” Suster itu memotong kalimatku, “Tadi ada serangan dari Israel… biar saya kasih kamu penghilang nyeri, ya…”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 08, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dibalik Balutan Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang